LAPORAN PRAKTIKUM PENERAPAN ZAT PENGATUR TUMBUH (AUKSIN DAN GIBERELIN)
LAPORAN PRAKTIKUM
PENERAPAN ZAT PENGATUR
TUMBUH
(AUKSIN DAN GIBERELIN)
TERHADAP AKLIMATISASI TANAMAN KENTANG
(Solanum tuberosum L)
WAYAN
ADI DARMAWAN
1302406065
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
COKROAMINOTO PALOPO
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kentang (Solanum
tuberosum L.) merupakan tanaman pokok dengan gudang karbohidrat terbesar ke
empat di dunia setelah padi, gandum, dan barley (Fernie dan Willmitzer, 2001),
sehingga mampu menunjang program diversifikasi pangan. Kentang termasuk salah
satu komoditas unggulan yang mempunyai prospek pasar nasional dan internasional
yang bagus (Duriat dkk, 2006).
Produktivitas kentang di
Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan potensi produksi
tanaman tersebut. Produksi kentang di Indonesia 13.38 ton per hektar sedangkan
Selandia Baru mencapai 35 ton per hektar (FAO, 2000). Produktivitas kentang
nasional dalam kurun waktu 4 tahun dari tahun 2010-2014 mengalami
ketidakstabilan. Pada tahun 2010 produksi kentang nasional mencapai 1.060.805
ton, pada tahun 2011 terjadi penurunan hasil produksi menjadi 955.488 ton, pada
tahun 2012 mengalami peningkatan kembali menjadi 1.094.232, pada tahun 2013
meningkat lagi menjadi 1.124.282, dan pada tahun 2014 kembali meningkat menjadi
1.347.815 (Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2015).
Sunaryono (2007)
menjelaskan produktivitas kentang di Indonesia rendah disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu mutu bibit yang dipakai rendah, pengetahuan tentang kultur teknis
yang kurang, penanaman secara terus-menerus dan permodalan petani yang
terbatas. Umbi bibit yang diperoleh dari pertanaman kentang secara
turun-temurun akan menyebabkan deteorasi atau penurunan mutu umbi dan peka
terhadap hama serta penyakit selama pertumbuhan tanaman (Suharyon, dkk, 2001). Untuk
mengatasi masalah pembibitan tersebut dapat dilakukan pembibitan dengan
memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan atau pembiakan mikro
kentang. Dengan tehnik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam waktu
relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus (Hidayat
1991).
Tahapan akhir dari
perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet.
Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan
intensitas cahaya rendah dan kelembapan tinggi, kemudian secara
berangsur-angsur kelembapannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan.
Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau
rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol
kultur (Yusnita, 2003).
Planlet hasil kultur in vitro biasanya memiliki
perakaran yang sedikit dan lemah. Sistem perakaran yang berasal dari kultur in
vitro seringkali sangat rentan dan tidak berfungsi dalam keadaan in
vivo. Akar tersebut akan segera mati dan harus segera diganti dengan akar
yang baru terbentuk kemudian dalam media tumbuh yang bersifat lepas dengan
aerase dan drainase baik untuk merangsang pertumbuhan akar (Gunawan, 1988).
Untuk menunjang keberhasilan pertumbuhan bibit pada
masa aklimatisasi dibutuhkan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang akar.
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat dan mengubah pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Salah satunya adalah giberelin, giberelin dapat mempengaruhi
panjang batang atau ruas batang, mendorong pembungaan, buah, tumbuhnya mata
tunas yang dorman (Santoso dan Fatimah, 2004). Selain giberelin jenis auksin,
seperti: Naphtha-lena Acetic Acid dan Indole Buteric Acid adalah
bentuk terbaik untuk pertumbuhan akar (Leopold dan Kriedmann, 1975).
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu diadakan
praktikum mengenai pemberian zat pengatuur tumbuh tanaman terhadap aklimatisasi
tanaman kentang.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui proses penerapan zat
pengetur tumbuh tanaman (Auksin dan Giberelin) pada tanaman kentang.
2.
Untuk mengetahui peranan zat pengatur
tumbuh tanaman (Auksin dan Giberelin) terhadap aklimatisasi kentang.
1.3
Manfaat
Manfaat dari praktikum ini yaitu dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai zat pengatur tumbuh tanaman (Auksin dan
Giberelin) pada aklimatisasi tanaman kentang.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Kentang (Solanum tuberosum L.)
Kentang (Solanum
tuberosum L) merupakan tanaman sayuran semusim, berumur pendek kurang lebih
hanya 90–180 hari dan berbentuk perdu atau semak. Kentang merupakan tanaman
yang masih satu famili dengan cabai, tomat, terung, paprika dan tembakau (Samadi, 1997).
Menurut Rukmana (1997),
dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan
kentang diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
(Tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae
(Berbiji tertutup)
Clasis : Dicotyledonae (Biji berkeping dua)
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies :
Solanum tuberosum Linn
2.1.1
Morfologi
Tanaman Kentang
Seperti tanaman lainnya, tanaman kentang memiliki
bagian-bagian seperti akar, batang, daun, bunga dan umbi.
1.
Akar
Tanaman kentang memiliki
sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar tunggang dapat menembus tanah
sampai kedalaman 45 cm, sedangkan akar serabut umumnya tumbuh menyebar
(menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar tanaman berwarna
keputih-putihan dan halus berukuran sangat kecil. Di antara akar–akar tersebut
ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi (stolon) yang selanjutnya
akan menjadi umbi kentang. Akar tanaman berfungsi menyerap zat–zat yang
diperlukan tanaman dan untuk memperkokoh berdirinya tanaman (Samadi, 1997).
2.
Batang
Batang tanaman berbentuk
segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman berbuku–buku,
berongga, dan tidak berkayu, namun agak keras bila dipijat. Diameter batang
kecil dengan tinggi dapat mencapai 50–120 cm, tumbuh menjalar. Warna batang
hijau kemerah-merahan atau hijau keungu-unguan.Batang tanaman berfungsi sebagai
jalan zat–zat hara dari tanah ke daun dan untuk menyalurkan hasil fotosintesis
dari daun ke bagian tanaman yang lain
(Rukmana, 1997).
3.
Daun
Tanaman kentang umumnya
berdaun rimbun. Helaian daun berbentuk poling atau bulat lonjong, dengan ujung
meruncing, memiliki anak daun primer dan sekunder, tersusun dalam tangkai daun
secara berhadap-hadapan (daun mejemuk) yang menyirip ganjil. Warna daun hijau
keputih–putihan. Posisi tangkai utama terhadap batang tanaman membentuk sudut
kurang dari 45o atau lebih besar 45o. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas
ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rukmana, 1997).
4.
Bunga
Bunga kentang berkelamin
dua (hermaphroditus) yang tersusun dalam rangkaian bunga atau karangan bunga
yang tumbuh pada ujung batang dengan tiap karangan bunga memiliki 7-15 kuntum
bunga. Warna bunga bervariasi : putih, merah, biru dan struktur bunga terdiri
dari daun kelopak (calyx), daun mahkota (corolla), benang sari (stamen), yang
masing-masing berjumlah 5 buah serta putih 1 buah. Bunga bersifat protogami,
dan sistem penyerbukannya dapat menyerbuk sendiri ataupun silang (Rukmana, 1997).
Menurut Rukmana (1997) bunga
kentang yang telah mengalami penyerbukan akan menghasilkan buah dan biji-biji (Samadi,
1997). Buah kentang berbentuk bulat, bergaris tengah kurang lebih 2,5 cm,
berwarna hijau tua sampai keungu–unguan dan tiap buah berisi 500 bakal biji.
Bakal biji yang dapat menjadi biji hanya berkisar 10 butir sampai dengan 300
butir. Biji kentang berukuran kecil, bergaris tengah kurang lebih 0,5 mm,
berwarna krem, dan memiliki masa istirahat (dormansi) sekitar 6 bulan.
5.
Umbi
Umbi terbentuk dari
cabang samping diantara akar-akar. Proses pembentukan umbi ditandai dengan terhentinya
pertumbuhan memanjang dari rhizome atau stolon yang diikuti pembesaran sehingga
rhizome membengkak. Umbi berfungsi menyimpan bahan makanan seperti karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Samadi, 1997).
Rukmana (1997) menyatakan
bahwa umbi kentang memiliki morfologi bervariasi, dilihat dari bentuk warna
kulit, warna daging, dan mata tunasnya.
2.1.2
Syarat
Tumbuh Tanaman Kentang
Daerah yang cocok untuk
menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah pegunungan dengan ketinggian
1000–3000 m dpl. Pada dataran medium, tanaman kentang dapat di tanam pada
ketinggian 300-700 m dpl (Samadi, 1997). Keadaan iklim yang ideal untuk tanaman
kentang adalah suhu rendah (dingin) dengan suhu rata–rata harian antara 15–20o C.
Kelembaban udara 80-90% cukup mendapat sinar matahari (moderat ) dan curah
hujan antara 200-300 mm per bulan atau rata-rata 1000 mm selama pertumbuhan (Rukmana,
1997).
Suhu tanah optimum untuk
pembentukan umbi yang normal berkisar antara 15–18o C. Pertumbuhan
umbi akan sangat terhambat apabila suhu tanah kurang dari 10o C dan
lebih dari 30o C (Samadi, 1997). Tanaman kentang membutuhkan tanah
yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, bersolum dalam, aerasi dan
drainasenya baik dengan reaksi tanah (pH) 5-6,5. Jenis tanah yang paling baik
adalah andosol dengan ciri–ciri solum tanah agak tebal antara 1-2 m, berwarna
hitam atau kelabu sampai coklat tua, bertekstur debu atau lempung berdebu
sampai lempung dan bertekstur remah. Jenis tanah Andosol memiliki kandungan unsur
hara sedang sampai tinggi, produktivitas sedang sampai tinggi dan reaksi tanah
masam sampai netral (Rukmana, 1997).
2.2
Aklimatisasi
Sebelum ditanam sebagai
bibit dalam pot, bibit anggrek hasil perbanyakan in-vitro memerlukan suatu
tahap penyesuaian terhadap cekaman lingkungan yang baru yang disebut tahap
aklimatisasi. Aklimatisasi diartikan sebagai proses adaptasi tanaman dari botol
kultur invitro ke lingkungan luar, proses adaptasi itu adalah perubahan dari
kondisi tanaman yang semula heterotof menjadi autohof , dari lingkungan fisik (temperature,
kelembaban dan intensitas cahaya matahari) yang terkendari ke lingkungan yang
dinamis, dan perubahan dari kondisi sterivaseptic ke kondisi non aseptik. Aklimatisasi
merupakan proses pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar
yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi
kultur jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di
samping hara dan media tanam (Seelye et al., 2003).
Menurut Bojwani dan Razdan
(1983), tahap aklimatisasi ini merupakan tahap yang paling krusial untuk menentukan
keberhasilan perbanyakan tanaman melalui kurtur in-vitro, sehingga perlu
mendapat perhatian. Tanaman hasil kultur jaringan memiliki lapisan lilin
(kutikula) yang tidak berkembang sempurna dan akar yang belum bisa berfungsi
dengan baik saat pernindahan tanaman ke kondisi normal atau dalam media pakis, tanah
atau kompos, harus dilakukan secara bertahap dan menghindari infeksi dari fungi
serta balceri karena tanaman hasil kultur jaringan belum mampu beradaptasi
dengan patogen-patogen yang biasa ditemukan di lingkungan luar (Pierik, 1987).
Pemindahan pertama dilakukan
ke dalam cominity pot, yang bisa menampung jumlah bibit yang cukup banyak. Pada
tahap awal kelembaban perlu dijaga dan pemberian nurisi tambahan bisa dilakukan
dengan penyemprotan pupuk daun. Selanjutnya bibit bisa dipindah ke pot-pot
individu saat daun dan akar siap untuk mendukung pertumbuhannya (Damayanti, E. 20l1).
Keberhasilan aklimatisasi tanaman ditentukan
oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah:
1.
Ukuran bibit
Ukuran bibit kultur
memengaruhi keberhasilan aklimatisasi tanaman. Penggunaan bibit kultur yang
kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati (Pardal et al. 2005). Hal serupa dilaporkan Damayanti
et al. (2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang
tumbuh dengan baik dan sehat.
2.
Akar
Salah satu faktor yang
sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin
banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara. Jangkauan akar yang
luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang
akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi
akibat kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga
dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke
lingkungan in vivo yang berbeda (Lestari et al.1999).
3.
Media
Secara umum, pengaruh komposisi media
terhadap keberhasilan aklimatisasi tampaknya belum ada kesepahaman. Penambahan
kompos pada media aklimatisasi tanaman lada tidak memberikan pengaruh terhadap
peninkatan jumlah tanaman hidup. Keberhasilan aklimatisasi lebih ditentukan
oleh jumlah akar dan umur planlet yang akan diaklimatisasi. Komposisi media
aklimatisasi tanah-pasir dan tanah-pasir pupuk-kandang pada tanaman lada memberikan
hasil rata-rata tanaman hidup masing-masing 38,6% dan 34,6% (Lestari et al, 2001).
Roostika et al. (2005) melaporkan
bahwa media tanah-kompos (1:1) memberikan hasil terbaik pada aklimatisasi tanaman
manggis. Sedangkan menurut Sutrisno et al. (2001) yang melakukan aklimatisasi
tanaman jagung pada media tanah memperoleh keberhasilan yang rendah karena
belum menemukan media yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis
tanaman menghendaki komposisi media dan perlakuan yang berbeda untuk memperoleh
hasil aklimatisasi yang baik.
4.
Kelembapan Udara
Tanaman hasil kultur
jaringan memerlukan kelembapan udara yang cukup tinggi karena lapisan kutikula
pada daun tanaman masih tipis, stomata belum berfungsi secara normal, dan
hubungan jaringan pembuluh pada batang dan akar belum sempurna (Gunawan, 1988).
Untuk menghindari efek fatal tersebut,
setelah dicuci, bibit hasil kultur jaringan direndam sementara dalam air atau langsung
ditanam dalam media tanah dan diberi sungkup. Pemberian sungkup bertujuan untuk
menjaga kelembapan media tumbuh dan mengendalikan respirasi yang berlebihan
sebelum bibit kultur tumbuh dan berkembang secara normal (Damayanti et al. 2007).
5.
Infeksi Penyakit
Kematian bibit kultur sering
disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Kondisi lingkungan tumbuh yang
kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang bibit terserang hama. Luka
akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi penyakit. Serangan penyakit
yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri (Gunawan 1988). Menurut
Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh pencucian bibit kultur
yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada media berikutnya.
Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah Pseudomonas sp. (Machmud 1986).
2.3 Zat Pengatur Tumbuh Auksin
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
berfungsi sebagai pemacu dan penghambat pertumbuhan tanaman. Penggunaan ZPT
yang tepat akan berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman namun apabila
dalam jumlah terlalu banyak justru akan merugikan tanaman karena akan meracuni
tanaman tersebut. Sebaliknya jika dalam jumlah yang sedikit maka akan kurang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tersebut (Ardana, 2009).
ZPT pada tanaman adalah
senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung,
menghambat, dan mengubah proses fisiologis. Auksin adalah salah satu hormon
tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Auksin mempunyai beberapa peran dalam pada tanaman diantaranya adalah menstimulasi
terjadinya perpanjangan sel pada pucuk dan mendorong primordial akar (Artanti, 2007).
Auksin
mempengaruhi pengembangan dinding sel dan mengakibatkan tekanan dinding sel
terhadap protoplas berkurang. Protoplas mendapat kesempatan untuk menyerap air
dari sel-sel yang ada di bawahnya, sel-sel yang terdekat pada titik tumbuh yang
mempunyai nilai osmosis yang tinggi. Dengan demikian di dapat sel yang
panjang-panjang dengan vakuola yang besar di daerah belakang titik tumbuh
(Dwijoseputro, 1994).
Penelitian Rineksane (2005) menyatakan
bahwa auksin tidak mampu meningkatkan luas daun. Namun penggunaan Rootone F
(auksin) berperan dalam meningkatkan jumlah akar. Auksin berperan mendorong
pertumbuhan akar, karena auksin merupakan hormon yang berperan dalam merangsang
pertumbuhan akar.
2.4 Zat Pengatur Tumbuh Giberelin
Giberellin merupakan
senyawa diterpenoit. Struktur
dasar kimia giberellin adalah kerangka giban dan kelompok karboksil bebas.
Terdapat bermacam-macam bentuk giberellin yaitu GA1, GA2, GA3,..... Zat ini memiliki
sifat-sifat berbentuk kristal, sedikit larut dalam air, larut dengan bebas alam
methanol, ethanol, aseton, dan larut sebagian dalam etil asetat (Gardner et al.
1991).
Di fase generatif
penambahan hormon giberelin eksogen akan meningkatkan kapasitas jaringan
penyimpanan hasil fotosintesa yang dipanen (umbi, buah dll) yaitu giberelin
akan memperbesar sel jaringan penyimpanan sehingga mampu menerima hasil-hasil
fotosintesa lebih banyak yang berakibat ukuran jaringan penyimpanan (buah)
lebih besar seperti pada semangka, kentang, dll atau bernas seperti pada padi,
jagung dll (Wordpress, 2009).
Secara terpisah perlakuan
konsentrasi GA3 memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman
(umur 45 : konsentrasi GA3 60 ppm yaitu sebesar 50,20 cm dan 55 HST :
konsentrasi GA3 60 ppm yaitu sebesar 56,32 cm) dan bobot kering akar per
tanaman. Penggunaan ZPT GA3 pada perlakuan yang diberikan justru menurunkan
kemampuan tanaman untuk berbuah sehingga hasil yang diperoleh juga rendah.
Pemberian GA3 juga mengakibatkan daun-daun mengalami khlorosis, sehingga daun
menjadi pucat mengarah ke warna kuning muda akan tetapi tanaman menjadi lebih
tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi GA3. Hal ini disebabkan
adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya misal faktor fisiologis seperti
perubahan suhu, kurang sinar matahari dan adanya gangguan hama penyakit yang
menyerang tanaman terutama
hama aphids (Cahyanti, 2002).
Gibberellin aktif menunjukkan banyak
efek fisiologi, masing-masing tergantung pada tipe gibberellin dan juga spesies
tanaman. Beberapa proses fisiologi yang dipengaruhi oleh gibberellin adalah:
(1) merangsang pemanjangan batang dengan merangsang pembelahan sel dan
pemanjangan, (2) merangsang pembungaan pada hari panjang, (3) memecah dormansi
pada beberapa tanaman yang menghendaki cahaya untuk merangsang perkecambahan,
(4) merangsang produksi enzim (a-amilase) dalam mengecambahkan tanaman sereal untuk
mobilisasi cadangan benih, (5) menyebabkan berkurangnya bunga jantan pada bunga
dicious (sex expression), (6) dapat menyebabkan perkembangan buah partenokarpi
(tanpa biji) dan (7) dapat menunda penuaan pada daun dan buah jeruk (Salisbury
and Ross, 1985). GA3 (giberelin) berpengaruh nyata terhadap
peubah jumlah akar pada 6 MSP (Minggu Setelah Perlakuan) dan sangat nyata pada
7 MSP (Minggu Setelah Perlakuan) (Rahmawati, 2008).
BAB
III
METODOLOGI
PRAKTIKUM
3.1
Tempat
dan Waktu
Praktikum ini
dilaksanakan di Labiota, desa Buluballea, kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi
Moncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Batas wilayah sebelah timur
berbatasan dengan Desa Kanreapia, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan
Malino, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tonasa dan sebelah selatan
berbatasan dengan Kelurahan Buluttana/Gunung Bawakaraeng. Kabupaten Gowa letak
wilayahnya antara 120.33,19’-130.15,17’ Bujur Timur. 50. 5’ – 50 . 34. 7’
Lintang Selatan.
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 November 2015 pada siang hari pukul 13.00 WITA
3.2
Alat
dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah gnting potong, wadah, alat tulis dan kamera.
Adapun bahan yang
dignakan meliputi ZPT (Auksin dan Giberelin), media tanam (sekam bakar dan
pupuk kandang), dan bibit kentang G0.
3.3
Prosedur
Kerja
Adapun cara kerja
aklimatisasi tanaman kentang tahap lanjutan yaitu:
1.
Menyiapakan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam praktikum.
2.
Bibit yang telah tumbuh dari hasil
aklimatisasi awal berupa G0 diambil secara perlahan untuk diperbanyak kembali.
3.
Bibit kentang G0 dipotong dengan gunting
sekitar 10 cm dari pucuk.
4.
Setelah dipotong celupkan pucuk tersebut
kedalam wadah yang telah berisi larutan ZPT.
5.
Pucuk kentang kemudian ditanam pada media
tanam beruupa arang sekam dan pupuk kandang.
6.
Alat tulis dan kamera digunakan untuk mencatat
dan dokumentasi cara kerja praktikum aklimatisasi kentang.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil dari praktikum penerapan ZPT
dalam aklimatisasi lanjutan pada tanaman kentang dapt dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Hasil Penerapan ZPT (Auksin dan Giberelin) terhadap Aklimatisasi
Tanaman Kentang
No.
|
Spesies Tanaman
|
ZPT yang digunakan
|
Penerapan pada Tanaman
|
1.
|
Tanaman
Kentang (Solanum tuberosum L)
|
Auksin
|
Sebagai Perangsang Akar
|
Giberelin
|
Sebagai
Perangsang Akar dan Pembelahan Sel
|
Sumber Data:Data Sekunder 2015
4.2 Pembahasan
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat
dilihat penerapan Auksin dan Giberelin pada aklimatisasi lanjutan tanaman
kentang berperan dalam perangsang pertumbuhan akar dan pembelahan sel. ZPT yang
diberikan pada saat melakukan stek pucuk tanaman kentang untuk mendapatkan
bibit yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Rineksane (2005) yang menyatakan
bahwa auksin tidak mampu meningkatkan luas daun. Namun penggunaan Rootone F
(auksin) berperan dalam meningkatkan jumlah akar. Auksin berperan mendorong
pertumbuhan akar, karena auksin merupakan hormon yang berperan dalam merangsang
pertumbuhan akar. Artanti (2007) menyebutkan bahwa auksin adalah
salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Auksin mempunyai beberapa peran dalam pada tanaman
diantaranya adalah menstimulasi terjadinya perpanjangan sel pada pucuk dan
mendorong primordial akar.
Selain auksin giberelin juga
berperan dalam pertumbuhan akar tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1995),
menyatakan bahwa giberelin tidak hanya memacu perpanjangan batang tetapi juga
pertumbuhan seluruh bagian tumbuhan termasuk daun dan akar. Selain itu
giberelin akan merangsang sintesis auksin yang sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan akar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), bahwa peningkatan panjang
batang adalah respon yang paling spsifik dari kebanyakan tanaman yang diberikan
giberelin dari luar, diakibatkan terjadinya peningkatan aktifitas pembelahan
sel dan perpanjangan sel, sehingga ukuran jaringan tanaman bertambah.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari hasil praktikum pada bab
sebelumnya maka dapat disimpilkan bahwa:
1.
Pada proses penerapan praktikum ZPT
(Auksin dan Giberelin) diaplikasikan pada saat aklimatisasi lanjutan berupa
stek pucuk tanaman kentang (Solanum tuberosum L).
2.
Peranan ZPT (Auksin dan Giberelin) pada
aklimatisasi lanjutan tanaman kentang (Solanum tuberosum L) yaitu
sebagai perangsang tumbuhnya akar dan terjadinya pembelahan sel sehingga
terjadinya perpanjangan batang.
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum ZPT selanjutnya tidak hanya
pada Auksin dan Giberelin namun juga penerapan ZPT lainnya seperti Sitokinin.
Selain itu sebaiknya kita dapat melaksanakan kegiatan ini di ruang lingkup
kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, R.C.
2009. Pengaruh Macam Zat Pengatur Tumbuh
dan Frekuensi Penyemprotan terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Gelombang Cinta
(Anthurium Plowmanii). Skripsi S1 FP UNS Surakarta.
Artanti,
F.Y. 2007. Pengaruh Macam Pupuk Organik
Cair dan Konsentrasi IAA terhadap Pertumbuhan Setek Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana
Bertoni M.). Skripsi S1 FP UNS Surakarta.
Badan
Pusat Statistik Dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015. Produksi Sayuran Indonesia. http://www.pertanian.go.id/
diakses pada tanggal 7 Desember 2015.
Bhojwani,S.S.
& Razdan, M.K. 1983. Plant Tissue
Culture. Theory and Practice.Elsevier. Amsterdarn-Oxford-New YorkTokyo.502
p.
Cahyanti,
W.R., 2002. Peranan Konsentrasi dan
Interval Pemberian Giberellin (GA3) terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Paprika (Capsicum annum L.) Kultivar Bell Boy.
Damayanti,
D., Sudarsono, I. Mariska, dan M. Herman. 2007. Regenerasi pepaya melalui kultur in vitro. J. AgroBiogen 3(2):
49−54.
Damayanti,
E. 2011. Budidaya Tanaman Anggrek.
Penerbit Araska. Yogyakarta. hal 24.
Duriat,
A.S., O.S. Gunawan, dan N. Gunaini. 2006. Penerapan
Teknologi PHT Pada Tanaman Kentang. Monograf No. 28. Balitsa.
Dwijoseputro,
D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
FAO.2000. Sustainable Potato Production.
Guidelines for Developing Countries. Rome.
Fernie, A.R.
and L. Willmitzer. 2001. Molecular and
biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiology
(127):1459-1465.
Gardner,
F. P., R. B. Pearce, R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi
Tanaman Budidaya. UI-Press. Jakarta. 426 hal.
Gunawan,
L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman.
Pusat Antaruniversitas Bioteknologi, IPB, Bogor.
Hendaryono, D.P.S., dan
A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. I 39p.
Hidayat,
I.M. 1991. Kemungkinan aplikasi tehnik
kultur jaringan dalam produksi bibit tanaman hortikultura. P. 31 -44. Dalam Dukungan sektor
perbenihan dalam menunjang agroindustri hortikultura. Prosiding seminar sehari,
Festival tanaman. Himpunan mahasiswa agronomi IPB, Bogor.
Leopold,A.
C; and P. E. Kriedmann. 1975. Plant
growth and development. New York. Mc. Grew-Hill. 360 hal.
Lestari,
E.G., R. Purnamaningsih, dan S.Hutami. 1999. Perbanyakan tanaman tangguh melalui kultur in vitro. hlm. 287−294.
Dalam 25 Tahun Badan Litbang Pertanian. Prosiding
Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian, 31 Agustus−1 September 1999.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Lestari,
E.G., D. Sukmadjaya, I. Mariska, M. Kosmiatin, Y. Rusyadi, dan S. Rahayu. 2001. Perbanyakan in vitro dan pengujian lanjutan pada nomor-nomor harapan
panili dan lada yang tahan penyakit. hlm: 109−119. Dalam I. Mariska, I.H.
Somantri, Sutrisno, M.Machmud, R.D.M. Simanungkalit, Suyono,dan I. Orbani.
Prosiding Seminar HasilPenelitian Rintisan dan Bioteknologi Ta-naman, Bogor,
30−31 Januari 2001. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
Machmud, M.
1986. Bacterial wilt in Indonesia. In
G.J. Persley (Ed.). Bacterial Wilt in Asia and Southern Pacific. ACIAR Proc.
13: 30−34.
Pardal,
S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik kedelai dengan gen proteinase inhibitor II
menggunakan teknik penembakan partikel. J. AgroBiogen 1(2): 53−61.
Pierik,
R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher
Plants. Martinus N.J. Hoff Publ., London.344 pp.
Rahmawati,
Melly Siti. 2008. Pengaruh Bap Dan Ga3
Terhadap Perkecambahan Heliconia
Caribaea Lam. Secara In
Vitro
Rineksane,
I.A. 2005. Pengaruh Lama Perendaman Biji
dalam Auksin Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Akar Manggis. Jurnal
Ilmu-ilmu Pertanian Agr UMY. Vol.13(2):83-91.
Roostika,
I., N. Sunarlim, dan I. Mariska. 2005. Mikropropagasi
tanaman manggis (Garciniamangostana). J. AgroBiogen 1(1): 20−25
Rukmana,
R. 1997. Kentang budidaya dan pasca panen.
Kanisius, Yogyakarta.
Salisbury,
F.B and C.W Ross, 1985. Plant Phisiology.
Wadsworth Publishing Company, California.
Salisbury,
F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan. Jilid 3. ITB. Bandung
Samadi,
B. 1997. Usahatani Kentang. Kanisius.
Yogyakarta.
Santoso,
U., dan Fatimah, N., 2004. Kultur
Jaringan Tanaman. UMM- Press.Malang.
Seelye,
J.F., Garry K. Burge, and Ed R. Morgan, 2003. Acclimatizing Tissue Culture Plants: Reducing the Shock. Combined
Proceedings International Plant Propagators’ Society, 86 Volume 53,
Palmerston North, New Zealand.
Suharyon,
Julistia B., N. Asni, IM Nur., Adri, S. Edi, Firdaus, H. Nugroho dan T.
Sudiantoro. 2001. kajian Beberapa
Generasi Varietas Granola dalam Upaya Peningkatan Produktivitas dan Agribisnis
Kentang. Laporan Kegiatan BPTP. Jambi
Sunaryono,
Hendro. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang,cetakan. 1. Agromedia. Jakarta.
Sutrisno,
dkk. 2001. Regenerasi embrio muda jagung
yang diintroduksi plasmid pUBC dan pBarGus. hlm. 37−45. Dalam I. Mariska,
I.H. Somantri, Sutrisno, M. Machmud, R.D.M. Simanungkalit, Suyono, dan I.
Orbani. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman,
30−31 Januari 2001. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor.
Wordpress,
2009. Hormon Tumbuh / ZPT. Dikutip dari: http://hijauqoe.wordpress.com/2009/01/03/hormonik-hormon-tumbuh-zpt/
Diakses tanggal 21 Maret 2009.
Yusnita.
2003. Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien. Agro Media
Pustaka, Jakarta.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment