MAKALAH TATWA - PURA BESAKIH-STKIP"AH" SINGARAJA

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Pengetahuan Agama Hindu dibali kini
sudah mengalami suatu peningkatan dari segi pemahaman dan kreatifitas orang
hindu sudah mulai muncul, ini diakibatkan karma pada masa ini dengan banyaknya
berbagai bencana dan hal – hal yang diluar pemikiran manusia yang menjadi
landasan kesadaran manusia untuk memahami lebih dalam tentang ajaran Agama.
Dengan banyak bimbingan maupun darmawacana dari bebrbagai orang suci umat hindu
di Bali khususnya mendapatkan banyak kesadaran bahwa kita tidak hanya sekedar
memeluk tetapi memahami apa makna,maupun dapat melakukan sutu perbuatan yang
tercermin ke Dharmaan di dalam beragama Hindu.
Kita orang Hindu harus berbangga,
karma Hindu merupakan agama tertua di dunia, bahkan untuk saat ini sudah banyak
muncul bukti – bukti sejarah keberadaan Agma Hindu di Indonesia dan Di bali
khususnya. Agar kita sebagai umat hindu dapat menjaga dan melestarikan warisan
budaya dan banyak tempat suci sebagai simbolisasi keagungan Hindu di bali yang
menjadi pulau seribu pura yang menjadi kebanggaan umat hindu. Dengan demikian
kita sebagai umat hindu yang memiliki kemauan untuk menjaga keajegan bali agar
dapat menjaga dan melestrikan tempat suci ( Pura ) dan mengetahui apa makna
maupun filosfi dari berdirinya tempat suci tersebut untuk dapat menambah keyakinan
kita untuk memeluk agama Hindu.
Dibawaha ini saya akan uraikan salah
satu tempat suci yang menjadi simbol kebessaran bagi umat hindu dibali, di
Indonesia maupun didunia, pura tersebur adalah Pura Besakih yang merupakan pura
Sad Khayangan yang dipercayai oleh umat hindu.
I.2 Rumusan Masalah.
Dari Penjelasan latar belakang di
atas dapat ditarik beberapa pertanyaan yang menjadi isi pokok masalah untuk
pembahasan makalah.
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya pura
Besakih
2. Apa makna Folosofi dari Pura
Besakih
3. Bagaimana Tatanan Pura Besakih
maupun piodalan dari pura yang ada
1.3 Tujuan
Apapun yang kita lakukan di dalam
melakukan sesuatu pasti didasari atas tujuan yang pasti. Dengan demikian
didalam membahas tentang tempat suci ini saya memiliki beberapa tujuan dari
pokok permasalahan di atas.
1.
Kita dapa mengetahui sejarah berdirinya Pura
Besakih
2.
Kita dapa mengetahui makna filosofis Pura
Besakih
3.
Kita dapat mengetahui tata letak dan nama Pura
berikut odalanya
Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah berdirinya Pura Besakih
Pura adalah istilah untuk tempat
ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama
terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu. Kata "Pura"
sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota
berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan
pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan
istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Inilah asal mulanya ada Besakih,
sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat
itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau
Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu
panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang
dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama
Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya
disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan
kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang
itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian
lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar
tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah
timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang.
Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para
pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana
mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi
ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama
beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari
yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan
hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang
akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi
keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang
yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa
alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di
hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi
Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan
mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah
upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan
hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke
utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat
asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar
perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian
tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan
perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam
kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak,
tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan
upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci).
Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu
para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya
serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana
sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari
lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang
seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian
sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum
dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap
kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung,
kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di
sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan
upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah
pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara
spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan
tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.
Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan
pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai
saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa
adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa
Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung
di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya
dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan
ajaran-ajaran agama Hindu.
2.2. Makna Filosofis Pura Besakih
Kajian tentang Pura Besakih ternyata mengandung makna yang luas dalam
kehidupan umat Hindu Bali. Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak
sekedar tempat ibadah terbesar di pulau Bali, namun didalamnya memiliki
keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi
di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta alam para Dewata. Sehingga
tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan suci Pura
Besakih yang bermakna filosofis. Demikian diungkapkan Wisnu Minsarwati, S.T.,
M.Hum saat ujian doktor hari Kamis, 22 Desember 2005 di ruang seminar Sekolah
Pascasarjana UGM.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya
mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi: 1) Sistim pengetahuan, 2)
Peralatan hidup dan teknologi, 3) Organisasi social kemasyarakatan, 4) Mata
pencaharian hidup, 5) Sistim bahasa, 6) Religi dan upacara, dan 7) Kesenian.
“Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya
aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa
pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap
mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional”,
Bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan
pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang
berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana
sebagai hasil kebidayaan masa Hindu. “bahwa latar belakang keberadaan bangunan
fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk
menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa
tertinggi,pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai
manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa
kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran
Agama Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih
diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali
dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya
yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya
aktivitas, dan wujud budaya material. “Perubahan tersebut berkaitan dengan
ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang
mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara
merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat
kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam
ajaran Agama Hindu di Bali”, tandas Wisnu Minsarwati (Humas UGM).
1. Filosofi
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat
bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di
pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung
Agung. Sebuah gunung tertinggi di
pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga
tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian
umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna
filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung
unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
- Sistem pengetahuan,
- Peralatan hidup dan teknologi,
- Organisasi sosial kemasyarakatan,
- Mata pencaharian hidup,
- Sistem bahasa,
- Religi dan upacara, dan
- Kesenian
Ketujuh
unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas,
dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun
masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap
ontologi dan tahap fungsional.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami
perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang
berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar
belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah
sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut
sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan
fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius
dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang
menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya
masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai
bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu
yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang,
sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan
wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari
umat kepada TuhanNya,
sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama
Hindu di Bali.
2.3 Tatanan Arsitektur dan piodalan
Pura Besakih
Denah situasi dan letak pura.
1. Pura
Pesimpangan
Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya,
di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya
pada hari Anggara Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila
kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung.
2. Pura
Dalem Puri
Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki
kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat
yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari Durga yang dahulu dinamai Pura
Dalem Kedewatan. Para umat Hindu yang telah selesai mengadakan Upakara
Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras
biasanya ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah
atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat suatu
tanah lapang yang agak luas yang dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi
sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di
pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah
menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda
dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga,
Galungan, Kuningan dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri
Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat
melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.
3. Pura
Manik Mas
Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang
Giriputri (Saktinya Siwa). Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek Uduh). Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan
mempersembahkan aturan sepatutnya sebelum ia akan ke Pura Penataran Agung Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala
sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya baik di Pura Penataran Agung maupun di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua, bahwa
di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke
Besakih dengan menunggang kuda, diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan
Pura Manik Mas beliau turun, kemudian bersama-sama muspa (sembahyang) di
Pura Manik Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura Penataran Agung Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura
Manik Mas sampai ke puncak disebut Telajakan Pura Besakih yaitu Soring
Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya pula baik
sekali bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan
sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan
kemudian barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura Penataran Agung sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih ini akan semakin dapat
dirasakan serta diresapi.
4. Pura
Bangun Sakti
Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga
yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan Hyang NagaTaksaka. Piodalannya
pada hari Buda Pon Watugunung. Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan
Ngusaba Posya pada hari Tilem sasih keenem. Di pura inilah konon Danghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah
beberapa lamanya wafat akibat kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih.
5. Pura Ulun
Kulkul
Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa
distanakan. Sebuah kulkul (kentongan besar) terdapat di pura ini dan
dipandang sebagai kulkul yang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul
yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat kulkul,
kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura
Ulun Kulkul, agar atas asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul
itu mempunyai taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau krama
pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut. Adapun piodalan
di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan, sedang pada setiap hari tilem ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan aci sarin tahun. Aci Pengurip Bumi dimaksudkan
untuk memohon agar semua tanam-tanaman baik di sawah maupun di ladang menjadi
subur dan sebagian kecil dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang
dinamakan aci sarin tahun. Jika ada Upakara-upakara Yadnya di
Pura ini dan di Pura Penataran Agung, maka semua bangunan Pelinggih yang terdapat di dalamnya harus
dihias dengan pengangge-pengangge sarwa jenar atau hiasan serba kuning.
6. Pura
Merajan Selonding
Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan jalan raya
terdapat Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah Merajan
dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di
Besakih dengan nama Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam
bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini,
demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam
Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada tabuh
gamelan di Bali, dikatakan bahwa Bhagawan Narada mengajarkan para pertapa
menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara itu dalam Markandeya
Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang
Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi
Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di
pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan
di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Keliwon Warigadian.
7. Pura Goa
Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki
diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada
tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun
runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra
ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu
mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu),
madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga
Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi
kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang
Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu.
Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah
Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua
Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah
kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih.
Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang
duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu
8. Pura
Banua Kawan
Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir
kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya
jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah
lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe
Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan
untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana
permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.
9. Pura
Merajan Kanginan
Letaknya di sebelah timur Banua Kawan, yaitu di ujung timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini
distanakan Bhatara rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu
Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau tumpek Kerulut. Menurut ceritera-ceritera yang
pernah didengar oleh para orang-orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan
dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih.
10. Pura
Hyang Haluh (Pura Jenggala)
Dari Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak agak jauh ke dalam dan kemudian membelok ke
utara akan kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut
masyarakat setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan
difungsikan sebagai Kahyangan Prajapati. Hal ini bisa dimengerti karena
agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra
Agung. Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai
seorang resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih.
Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang
mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan
Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.
11. Pura
Basukihan
Di kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu
(tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut
perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima
jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh,
pura Desa dan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih-palinggih
yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang
ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura
Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem
yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung
Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya
jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu
12. Pura
Penataran Agung
Di sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk
dalam kompleks Pura Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang
terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya
dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana
Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning
Batara Kabeh.
13. Pura Batu Madeg
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah
Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.
Pura ini
cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru.
Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci
di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian
pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.
Bila
terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura
Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini
dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider,
Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.
14. Pura Batu Kiduling Kreteg
Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman
dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur
sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya
hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam
lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan
kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada
di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau
kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya
menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura
Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur
Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning
Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura
Besakih Purusa.
Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan
setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak
merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen
pelinggih berwarna merah
15. Pura
Gelap
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat
Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana
distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga,
Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan
di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.
16. Pura Pengubengan
Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih
pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi
Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan
Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di
antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang
tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung
Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu
dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu,
(Rerainan) kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal
berkunjung ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang disebut Tirtha Yatra,
juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura
Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
17. Pura
Batu Tirtha
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat
sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung
di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula
di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan.
Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
18. Pura
Batu Peninjoan
Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai
kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan
kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat
sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau
wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di
Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura
Besakih ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang.
Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau
ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih
meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang
masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat
beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena
beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak
ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya
distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di
tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura
Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di
sebelah selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura
ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan
di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu.
19. Komplek
Pedarman
Disini terdapat banyak pura yang mendapingi pura penataran agung. Dimana
pada pedarman ini di sentanakan para tokoh dan para maha resi yang berjasa
didalam mewujudkan tujuan di bangunnya pura besakih maupun yang ikut mewujudkan
kemakmuran rakya bali
Bab III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar tempat ibadah
terbesar di pulau Bali, namun didalamnya memiliki keterkaitan latar belakang
dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya
sebagai arwah serta alam para Dewata. Terdapatnya pura besakih di bali adalah
sebagai tempat penyerahan dan rasa syukur umat hindu ke pada para dewa dan juga
kepada para leluhur yang sudah memberikan kemakmuran. Dan juga sebagai tempat
menyadarkan diri manusia akan jati dirinya tentang bagaimana kebesaran tuhan
untuk melindungi umatnya dan memeliharanya, dengan demikian pura besakih akan
disebut sebagai tempat menjalin hubungan yang harmonis baik itu kepada tuhan ,
manusia, dan lingkungan. Dan hanya Dengan dharma sebagai landasan filosofi
membangun SDM yang berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan filosofi menjaga
sistem alam yang lestari sepanjang masa. Tanpa dharma dan Rta manusia dan alam
akan saling menghancurkan. Tentunya yang akan paling merasakan derita itu
adalah manusia itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih nyata pemujaan kita
pada Tuhan untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya hidup kita dengan daya
dukung alam demi kelangsungan hidup ini.
3.2 Saran
Saran kami kepada pembaca, mari kita sama – sama ikut serta melestarikan
warisan leluhur yang agung ini yaitu Pura Besakih yang sebenranya tempat ini
kita ditujukan untuk selalu memuja dan bersyukur kepada tuhan.kami mengharapkan
kepada semua umat hindu yang ada di Bali maupun diluar Bali, untuk selalu ingat
akan kebesaran tuhan karna berkat beliau kita bisa merasakan apa yang kita
daptkan selama kita hidup. Dan bersyukurlah kepadanya, sadarkan diri anda bahwa
sesungguhnya kita adalah ciptaanya, bersujudlah kehadapanya sebelum terlambat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.balipost.co.id/balipostcetak
2. www.babadbali.com
3. Sivanada
Swami sri, ALL ABOUT HIDUISME ( intisari ajaran Agama Hindu ), The Divine Life
Society / Paramita surabaya, surabaya 1993
4. Pudja MA
dan Tjokorda rai sudharta MA, Manawa Dharma Sastra atau Weda Semerti,
Departemen Agama RI 1976/1977
5. Mantra, Prof.Dr.IB. Bhagawad gita. Parisada Hindu dharma Pusat Denpasar
6. Dewa sucita,Buah catatan mata kuliah Tattwa dan Tantra
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment