LAPORAN PRAKTEK PENERAPAN ZAT PENGATUR TUMBUH (AUKSIN DAN GIBERELIN) TERHADAP AKLIMATISASI TANAMAN KENTANG

No comments
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Di Indonesia kentang biasanya diusahakan di dataran tinggi, lebih kurang 1000 meter di atas permukaan laut. Dimana rata-rata hasil yang dicapai secara nasional masih rendah yaitu 14 ton ha-1. Hasil ini masih rendah bila dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat 29,20 ton ha-1, Swiss, Belanda, Inggris dan Jerman diatas 20 ton ha-1. Rendahnya produksi Indonesia ini disebabkan belum banyaknya petani penghasil (seed grower) bibit kentang bermutu, sehingga permintaan bibit kentang tidak dapat dipenuhi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan atau pembiakan mikro kentang. Dengan tehnik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam waktu relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus (Hidayat 1991).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi melalui kultur jaringan atau pembiakan mikro kentang. Dengan tehnik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam waktu relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus (Hidayat 1991).
Untuk menunjang keberhasilan pertumbuhan bibit pada masa aklimatisasi tersebut tentunya dibutuhkan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang pembentukan akar tanaman kentang. Untuk mempercepat dan memaksimalkan pertumbuhan, maka dibutuhkan zat pengatur tumbuh berupa auksin yang memacu perkembangan akar. Selain auksin zat pengatur tumbuh giberelin juga dapat digunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman kentang (Sasmitamihardja, 1996).
Berdasarkan uraian diatas maka diadakan praktikum tentang peranan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan giberelin pada tanaman kentang.
1.2    Tujuan
Adapun tujuan dari diadakan praktikum ini adalah:
1.        Untuk mengetahui proses penerapan auksin dan giberelin pada tanaman kentang.
2.        Untuk mengetahui peran dan fungsi ZPT auksin dan giberelin pada aklimatisasi tanaman kentang.
1.3    Manfaat
Manfaat dilakukan praktikum ini adalah agar dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang peranan ZPT auksin dan giberelin dalam aklimatisasi kentang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Tanaman Kentang
Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum L. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi              : Spermatophyta
Subdivisi         : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledonae
Ordo                : Solanales
Famili              : Solanaceae
Genus              : Solanum
Spesies            : S. tuberosum L.
Kentang (S. tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang cocok untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata harian 18- 21oC, serta kelembaban udara 80-90 persen. Tanaman kentang adalah salah satu tanaman budidaya tetraploid (2n = 4x = 40) yang merupakan herba (tanaman pendek tidak berkayu) semusim. Kentang membentuk umbi di bawah permukaan tanah dan menjadi sarana perbanyakan secara vegetatif. Dalam budidaya kentang, perbanyakan dilakukan melalui model ini sehingga keragaman kentang di ladang sangat rendah (Gklinis, 2009).
Kentang merupakan tanaman dikotil bersifat musiman, berbentuk semak/herba dengan filotaksis spiral. Tanaman ini pada umumnya ditanam dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama denganinduknya. Stolon tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm, menebal bagian ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi terjadi pada 5-7 minggu setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah berkisar antara 15-30 cm. Jumlah umbi yang tinggi memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode inisiasi pembentukan umbi (Adiyoga et al., 2004).
Stolon kentang adalah pucuk lateral, biasanya tumbuh dari nodia palingpangkal dibawah permukaan tanah. Stolon tersebut merupakan pucuk diageotropik dengan internodia yang panjang, berbentuk seperti kait pada ujungnya dan susunan daunnya membentuk spiral dengan jarak tertentu. Ketika umbi berkembang, akan terbentuk dari daerah sub apikal stolon. Pembentukan umbi terkait dengan dua proses yaitu pembentukan stolon dan pembentukan umbi pada ujung stolon (Harris, 1978).
Wiersema (1987) mengungkapkan bahwa pada kepadatan batang yang rendah, terjadi persaingan antar batang yang lebih kecil, menghasilkan jumlah umbi yang banyak per batangnya, namun, tiap unit area lebih sedikit. Sebaliknya, ketika kepadatan batang meningkat, jumlah umbi per batang menurun, namun jumlah umbi per area umumnya meningkat. Pembentukan umbi membutuhkan panjang penyinaran (fotoperiodisitas) yang pendek, sedangkan untuk pembentukan bunga memerlukan hari panjang antara 16-18 jam. Di daerah tropis dengan fotoperiodisitas yang pendek (antara 12-13 jam), pembentukan umbi dimulai lebih cepat, pertumbuhan daun-daun cepat terhenti, dan kematian daun juga lebih cepat sehingga secara keseluruhan masa pertumbuhannya lebih pendek (Soelarso,1997).
Pati kentang mengandung amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3. Dari tepung dan pati kentang, selanjutnya dihasilkan berbagai produk pangan olahan dengan beragam cita rasa yang enak dan penampilan menarik. Kandungan karbohidrat pada kentang mencapai sekitar 18 persen, protein 2,4 persen dan lemak 0,1 persen. Total energi yang diperoleh dari 100 gram kentang adalah sekitar 80 kkal. Dibandingkan beras, kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun, jika dibandingkan dengan umbi-umbian lain
seperti singkong, ubi jalar, dan talas, komposisi gizi kentang masih relatif lebih baik (Astawan, 2004).
Kentang adalah sumber karbohidrat yang juga kaya mineral dan vitamin. Khasiat dari kentang antara lain adalah mencegah kanker, pengobatan asam urat, ginjal, sistem lambung dan jantung, untuk kesehatan lever, jaringan otot, untuk proses peremajaan kulit. Kandungan gizi kentang dalam 100 gr kentang antara lain: Protein 2,00 gr, lemak 0,30 gr, karbohidrat 19,10 gr, kalsium 11,00 mg, fosfor 56,00 mg, serat 0,30 gr, besi 0,30 mg, vitamin B1 0.09 mg, vitamin B2 0,03 mg, vitamin C 16,00 mg, dan niacin 1,40 mg. Namun demikian terdapat zat racun yang terkandung dalam kentang yaitu Solanin. Kentang yang mengandung zat ini diindikasikan berwarna hijau (Mlandhing, 2008).
Tanaman kentang memiliki morfologi yang hampir sama dengan tanaman umbi lainnya yang terdiri dari:
1.        Akar
Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar tunggang dapat menembus tanah sampai kedalaman 45 cm, sedangkan akar serabut umumnya tumbuh menyebar (menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar tanaman berwarna keputih-putihan dan halus berukuran sangat kecil. Di antara akar–akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi (stolon) yang selanjutnya akan menjadi umbi kentang. Akar tanaman berfungsi menyerap zat–zat yang diperlukan tanaman dan untuk memperkokoh berdirinya tanaman (Samadi, 1997).
2.        Batang
Batang tanaman berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman berbuku–buku, berongga, dan tidak berkayu, namun agak keras bila dipijat. Diameter batang kecil dengan tinggi dapat mencapai 50–120 cm, tumbuh menjalar. Warna batang hijau kemerah-merahan atau hijau keungu–unguan (Rukmana, 1997).
3.        Daun
Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun. Helaian daun berbentuk poling atau bulat lonjong, dengan ujung meruncing, memiliki anak daun primer dan sekunder, tersusun dalam tangkai daun secara berhadap-hadapan (daun mejemuk) yang menyirip ganjil. Warna daun hijau keputih–putihan. Posisi tangkai utama terhadap batang tanaman membentuk sudut kurang dari 450 atau lebih besar 450. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rukmana, 1997). Daun berkerut–kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu.
4.        Bunga
Bunga kentang berkelamin dua (hermaphroditus) yang tersusun dalam rangkaian bunga atau karangan bunga yang tumbuh pada ujung batang dengan tiap karangan bunga memiliki 7–15 kuntum bunga. Warna bunga bervariasi: putih, merah, biru. Struktur bunga terdiri dari daun kelopak (calyx), daun mahkota (corolla), benang sari (stamen), yang masing–masing berjumlah 5 buah serta putih 1 buah. Bunga bersifat protogami, diman putik lebih cepat masak daripada tepung sari (Rukmana, 1997).
Bunga kentang yang telah mengalami penyerbukan akan menghasilkan buah dan biji–biji (Samadi, 1997). Buah kentang berbentuk bulat, bergaris tengah kurang lebih 2,5 cm, berwarna hijau tua sampai keungu–unguan dan tiap buah berisi 500 bakal biji. Bakal biji yang dapat menjadi biji hanya berkisar 10 butir sampai dengan 300 butir. Biji kentang berukuran kecil, bergaris tengah kurang lebih 0,5 mm, berwarna krem, dan memiliki masa istirahat (dormansi) sekitar 6 bulan (Rukmana, 1997).
5.        Umbi
Umbi terbentuk dari cabang samping diantara akar–akar. Proses pembentukan umbi ditandai dengan terhentinya pertumbuhan memanjang dari rhizome atau stolon yang diikuti pembesaran sehingga rhizome membengkak. Umbi berfungsi menyimpan bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Samadi, 1997).
2.2    Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media tanam (Seelye et al., 2003).
Menurut Yusnita (2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian Tahap aklimatisasi ini merupakan tahap yang paling krusial untuk menentukan keberhasilan perbanyakan tanaman melalui kurtur in-vitro, sehingga perlu mendapat perhatian. Tanaman hasil kultur jaringan memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang sempurna dan akar yang belum bisa berfungsi dengan baik saat pernindahan tanaman ke kondisi normal atau dalam media pakis, tanah atau kompos, harus dilakukan secara bertahap dan menghindari infeksi dari fungi serta balceri karena tanaman hasil kultur jaringan belum mampu beradaptasi dengan patogen-patogen yang biasa ditemukan di lingkungan luar (Pierik, 1987).
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang menguntungkan seperti lapisan lilin tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas yang tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi kondisi
lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009).
Pemindahan pertama dilakukan ke dalam cominity pot, yang bisa menampung jumlah bibit yang cukup banyak. Pada tahap awal kelembaban perlu dijaga dan pemberian nurisi tambahan bisa dilakukan dengan penyemprotan pupuk daun. Selanjutnya bibit bisa dipindah ke pot-pot individu saat daun dan akar siap untuk mendukung pertumbuhannya (Damayanti, E. 20l1).
Menurut Lestari et al (2001) keberhasilan aklimatisasi tanaman ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah ukuran bibit, akar planlet, media, kelembapan udara dan infeksi penyakit akibat bakteri dan virus.
2.3    Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berfungsi sebagai pemacu dan penghambat pertumbuhan tanaman. ZPT pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan mengubah proses fisiologis.  Penggunaan ZPT yang tepat akan berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman namun apabila dalam jumlah terlalu banyak justru akan merugikan tanaman karena akan meracuni tanaman tersebut. Sebaliknya jika dalam jumlah yang sedikit maka akan kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tersebut (Ardana, 2009).
            Peningkatan produksi tanaman selain dilakukan dengan inovasi pembibitan juga diperlukan penambahan ZPT. Zat pengatur tumbuh berperan dalam stimulasi pertumbuhan dengan memberi isyarat pada target untuk membelah atau memanjang Selain menjadi memacu pertumbuhan, beberapa jenis ZPT juga dapat berperan dalam menghambat pertumbuhan tanaman. Pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada jenis dan spesies tumbuhan, siklus aksi ZPT tumbuhan, tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta konsentrasi ZPT yang baik (Abdurrahman, D., 2008).
2.4    Zat Pengatur Tumbuh Auksin
Auksin mempunyai beberapa peran dalam pada tanaman diantaranya adalah menstimulasi terjadinya perpanjangan sel pada pucuk dan mendorong primordial akar. Auksin mempengaruhi pengembangan dinding sel dan mengakibatkan tekanan dinding sel terhadap protoplas berkurang. Protoplas mendapat kesempatan untuk menyerap air dari sel-sel yang ada di bawahnya, sel-sel yang terdekat pada titik tumbuh yang mempunyai nilai osmosis yang tinggi. Dengan demikian di dapat sel yang panjang-panjang dengan vakuola yang besar di daerah belakang titik tumbuh (Dwijoseputro, 1994).
Beberapa auksin alami (organik) adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA) dan Indole Butyric Acid (IBA), 4-kloro IAA, dan Phenylacetic acid (PAA). Auksin sintetik banyak macamnya, yang umum dikenal adalah Nephtaleine Acetic Acid (NAA), Asam Beta-Naftoksiasetat (BNOA), 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D), dan Asam 4-Klorofenoksiasetat (4-CPA), 2-Methyl-4 Chlorophenoxy Acetic Acid (MCPA), 2,4,5-T dan 3,5,6-Trichloro Picolinic Acid (Picloram) (Gunawan, 1987)
Auksin mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987). Untuk memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi. Dewi (2008) menyebutkan bahwa fungsi auksin antara lain mempengaruhi pertambahan panjang batang, pertumbuhan, diferensiasi dan percabangan akar, perkembangan buah, dominansi apikal, fototropisme dan geotropisme.
Menurut Kusumo dan Surahmat (1984), bahwa zat pengatur tumbuh golongan auksin pada kadar yang rendah dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman, pada konsentrasi optimum membantu pemanjangan akar, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi dapat menghambat pemanjangan akar tetapi jumlah akar bertambah banyak. Husniati (2010) menyatakan bahwa auksin memicu terjadinya pembelahan sel, sehingga diperlukan untuk pembentukan akar.
2.5    Zat Pengatur Tumbuh Giberelin
Giberellin merupakan senyawa diterpenoit. Struktur dasar kimia giberellin adalah kerangka giban dan kelompok karboksil bebas. Terdapat bermacam-macam bentuk giberellin yaitu GA1, GA2, GA3,..... Zat ini memiliki sifat-sifat berbentuk kristal, sedikit larut dalam air, larut dengan bebas alam methanol, ethanol, aseton, dan larut sebagian dalam etil asetat (Gardner et al. 1991).
Menurut Gardner et al. (1991) semua organ tanaman mengandung berbagai macam GA pada tingkat yang berbeda-beda, tetapi sumber terkaya dan mungkin tempat sintesisnya ditemukan pada buah, biji, tunas, daun muda, dan ujung akar. Menurut Bewley dan Black (1982) sebagian besar giberelin ditemukan di dalam biji. Giberelin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan tanaman ialah GA3. GA3 merupakan giberelin sintetik yang sangat aktif dan mudah ditemukan di pasaran.
Di fase generatif penambahan hormon giberelin eksogen akan meningkatkan kapasitas jaringan penyimpanan hasil fotosintesa yang dipanen (umbi, buah dll) yaitu giberelin akan memperbesar sel jaringan penyimpanan sehingga mampu menerima hasil-hasil fotosintesa lebih banyak yang berakibat ukuran jaringan penyimpanan (buah) lebih besar seperti pada semangka, kentang, dll atau bernas seperti pada padi, jagung dll.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa giberelin tidak hanya memacu perpanjangan batang tetapi juga pertumbuhan seluruh bagian tumbuhan termasuk daun dan akar. Selain itu giberelin akan merangsang sintesis auksin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan akar. Zat pengatr tumbh giberelin berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah akar pada 6 MSP (Minggu Setelah Perlakuan) dan sangat nyata pada 7 Minggu Setelah Perlakuan.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1    Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Labiota, desa Buluballea, kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Batas wilayah sebelah timur berbatasan dengan Desa Kanreapia, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Malino, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tonasa dan sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Buluttana/Gunung Bawakaraeng. Kabupaten Gowa letak wilayahnya antara 120.33,19’-130.15,17’ Bujur Timur. 50. 5’ – 50 . 34. 7’ Lintang Selatan.
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 November 2015 pada siang hari pukul 13.00 WITA
3.2    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini anatara lain gunting, wadah (botol yang telah dipotong bagian atasnya), pulpen, dan kertas.  Sedangkan bahan yang digunakan bibit tanaman kentang G0, ZPT (Auksin dan Giberelin), dan media tanam.
3.3    Prosedur Kerja
Adapun cara kerja aklimatisasi tanaman kentang tahap lanjutan yaitu:
1.        Menyiapakan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
2.        Bibit yang telah tumbuh dari hasil aklimatisasi awal berupa G0 diambil secara hati-hati  untuk diperbanyak kembali. Bibit kentang G0 dipotong dengan gunting sekitar 10 cm dari pucuk.
3.        Setelah dipotong celupkan pucuk tersebut kedalam wadah yang telah berisi larutan ZPT (Auksin dan Giberelin)
4.        Pucuk kentang kemudian ditanam pada media tanam berupa arang sekam dan tanah yang dicampur dengan pupuk kandang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil
Hasil dari praktikum pemberian Auksin dan Giberelin dalam aklimatisasi pada tanaman kentang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
No.
Spesies Tanaman
ZPT yang digunakan
Penerapan pada Tanaman
1.
Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L)
Auksin
Sebagai Perangsang Akar
Giberelin
Berperan dalam perpanjangan batang dan pembelahan sel.
Sumber Data:Data Sekunder 2015
4.2    Pembahasan
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 1 dapat diketahi bahwa ZPT Auksin dan Giberelin berperan penting terhadap proses aklimatisasi planlet hasil kultur jaringan. Hal ini didukung oleh pendapat Pierik (1987) yang menyatakan bahwa auksin mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium. Selain itu menurut Kusumo dan Surahmat (1984), menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh golongan auksin pada kadar yang rendah dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman, pada konsentrasi optimum membantu pemanjangan akar, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi dapat menghambat pemanjangan akar tetapi jumlah akar bertambah banyak.
Pemberian giberelin menurut Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa giberelin tidak hanya memacu perpanjangan batang tetapi juga pertumbuhan seluruh bagian tumbuhan termasuk daun dan akar. Selain itu giberelin akan merangsang sintesis auksin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan akar.
BAB V
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil praktek aklimatisasi yang dillakukan di malino adalah sebagai berikut:
1.        Pada aklimatisasi tanaman kentang diterapkan zat pengatur tumbuh auksin dan giberelin.
2.        Zat pengatur tumbuh auksin dan giberelin berperan dalam merangsang pertumbuhan akar, perpanjangan batang dan pembelahan sel pada aklimatisasi tanaman kentang.
5.2    Saran
Sebaiknya perlakuan zat pengatur tumbuh pada tanaman kentang dapat diaplikasikan di kampus Cokroaminoto Palopo. Selain itu diharapkan kepada pembaca agar lebih banyak mencari referensi lainnya guna menambah ilmu dan wawasan mengenai aplikasi Zat Pengatur Tumbuh tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, D., 2008. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan Jilid 2. Bandung : Grafindo Media Pratama.
Adiyoga, W., et al. 2004. Profil Komoditas Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. http://www.scribd.com/doc/15249535/Profilkomoditaskentang?autodown=pdf.
Ardana, R.C. 2009. Pengaruh Macam Zat Pengatur Tumbuh dan Frekuensi Penyemprotan terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Gelombang Cinta (Anthurium Plowmanii). Skripsi S1 FP UNS Surakarta.
Astawan, M. 2004. Kentang. http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php? mnu=2&id=1
Bewley, J. D., and M. Black. 1982. Seeds: Physiology of Development and Germination. Plenum Press. London. 418 p.
Damayanti, E. 2011. Budidaya Tanaman Anggrek. Penerbit Araska. Yogyakarta. hal 24.
Dewi, I.R. (2008). Peranan dan Fungsi Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung.
Dwijoseputro, D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia Pustaka  Utama. Jakarta
Gardner, F. P., R. B. Pearce, R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press. Jakarta. 426 hal.
Gklinis. 2009. Kentang : Sumber Vitamin C dan Pencegah Hipertensi. http:// www.gizi.net/ cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1084847086,80496
Gunawan, L. W. 1987. Pengenalan Teknik In Vitro. Skripsi. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
Harris, P.M. 1978. The Potato Crop: The Scientific Basis for Improvement. Chapman & Hal, Inc, London.Hidayat, I.M. 1991. Kemungkinan aplikasi tehnik kultur jaringan dalam produksi bibit tanaman hortikultura. P. 31-44. Dalam Dukungan sektor perbenihan dalam menunjang agroindustri hortikultura. Prosiding seminar sehari, Festival tanaman. Himpunan mahasiswa agronomi IPB, Bogor.
Husniati, K. (2010). Pengaruh Media Tanam dan Konsentrasi Auksin terhadap Pertumbuhan Stek Basal Daun Mahkota Tanaman Nanas (Ananas comosus L.Merr) cv. Queen. Sripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kusumo dan Surahmat. 1984. Zat pengatur tumbuh. PT. Soeroengan. Jakarta. 60 hal.
Lestari, E.G., D. Sukmadjaya, I. Mariska, M. Kosmiatin, Y. Rusyadi,  dan S. Rahayu. 2001. Perbanyakan in vitro dan pengujian lanjutan pada nomor-nomor harapan panili dan lada yang tahan penyakit. hlm: 109−119. Dalam I. Mariska, I.H. Somantri, Sutrisno, M.Machmud, R.D.M. Simanungkalit, Suyono,dan I. Orbani. Prosiding Seminar HasilPenelitian Rintisan dan Bioteknologi Ta-naman, Bogor, 30−31 Januari 2001. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor.
Mlandhing. 2008. Kentang. http://dapurmlandhing.dagdigdug.com/2008/05/09/ kentang.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus N.J. Hoff Publ., London.344 pp.
Rukmana, R. 1997. Kentang budidaya dan pasca panen. Kanisius, Yogyakarta.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. ITB. Bandung
Samadi, B. 1997. Usahatani Kentang. Kanisius. Yogyakarta.
Sasmitamihardja, D dan Siregar, A. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Seelye, J.F., Garry K. Burge, and Ed R. Morgan, 2003. Acclimatizing Tissue Culture Plants: Reducing the Shock. Combined Proceedings International Plant Propagators’ Society, 86 Volume 53, Palmerston North, New Zealand.
Soelarso, B. 1997. Budidaya Kentang Bebas Penyakit. Penerbit Kanisius, Jogjakarta.
Wiersema, S.G. 1987. Effect of stem density on potato production. Technical Information Bulletin. CIP. Lima. Peru.
Yusnita.2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tnaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Jakarta: PT Bumi Aksara.

No comments :

Post a Comment