MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (MSDM) | HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat maka pemerintah melaksanakan
pembangunan di segala bidang khususnya bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan
pembangunan di bidang ekonomi memiliki pengaruh dan berkaitan erat dengan
bidang-bidang lainnya seperti bidang sosial, politik, budaya, pendidikan,
pertahanan keamanan, serta bidang-bidang lainnya. Sebagai salah satu
negara berkembang Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat
dalam berbagai sektor (Prabowo, 2015).
Keberhasilan pembangunan di
bidang ekonomi diharapkan mampu memberikan dukungan terhadap pembangunan di
bidang lainnya sehingga tujuan pembangunan nasional dapat terwujud. Indikasi
tercapainya peningkatan kesejahteraan dan keadilan rakyat dapat dilihat dari
adanya pemerataan pendapatan perkapita dan peningkatan daya beli masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari
hubungan kerja yang terbentuk di dalam suatu perusahaan.
Hubungan kerja yang dianut di
Indonesia adalah sistem hubungan industrial
yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan
pembangunan nasioal karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha
dan pekerja (Kusuma, 2012).
Hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja/buruh adalah sebuah hubungan hukum yang didasarkan pada sebuah
perjanjian kerja dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi (Prabowo, 2015).
Pekerja/buruh mempunyai peranan penting dalam sebuah hubungan industrial,
karena apabila tidak ada unsur pekerja maka sebuah perusahaan tidak akan dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Namun keadaan saling membutuhkan antara
pengusaha dan pekerja/buruh ini tidak selalu dapat berjalan secara harmonis
karena 2 egoisme masing-masing pihak. Perselisihan antara pengusaha dan
pekerja/buruh kadangkala terjadi karena masing-masing pihak merasa memberikan
kontribusi paling besar atas keberhasilan suatu perusahaan.
Hukum
perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian dari hukum
berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan
maupun kolektif. Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti
pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari
buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan
keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja
bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/ penghasilan
dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka (Voss dan Surya, 2012).
Perlindungan
terhadap pekerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas apapun untuk
mewujudkan kesejatraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja yakni Undang-Undang no 13 Tahun 2003
tentang ketenaga kerjaan dan peraturan pelaksana dari perundang-undangan
dibidang ketenagakerjaan (Latupono, 2011).
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui pengertian serta tujuan hukum
ketenagakerjaan.
2.
Mengetahui sumber hukum ketenagakerjaan.
3.
Mengetahui tentang hubungan kerja serta PHK
4.
Mengetahui tentang perselisihan hubungan industrial dan
cara penyelesaiaanya
5.
Mengetahui tentang kesehatan dan keselamatan kerja
serta hukum yang mengatur
6.
Mengetahui pengertian, hukum serta ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja
7.
Mengetahui salah satu kasus yang ada di lapangan.
1.3
Manfaat
Manfaat
dari makalah ini adalah dapat menambah ilmu dan pengetahuan mengenai tentang hukum ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Hukum Perburuhan/Ketengakerjaan
Hukum
perburuhan atau ketenagakerjaan (dari hukum berkenaan dengan pengaturan
hubungan perburuhan Labour Law) adalah bagian baik bersifat perseorangan
maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh)
yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan
pengusaha/majikan). Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti
pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari
buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan
keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja
bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok,
jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka (Voss dan Surya, 2012).
jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka (Voss dan Surya, 2012).
Ada
berbagai rumusan tentang
arti dari istilah
Hukum Ketenagakerjaan. Termuat di buku Iman Soepomo yang berjudul Pengantar
Hukum Perburuhan beberapa pengertian yang diambil dari ahli hukum perburuhan.
Beberapa di antaranya adalah (Soepomo, 1995):
Molenaar;
sarjana Belanda ini mengatakan bahwa "ar-beidsrecht" (Hukum Perburuhan)
adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan
antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh
dengan penguasa.
M.G.
Levenbach; merumuskan hukum perburuhan
atau arbeidsrecht sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang
berkenaan dengan keadaan penghidupan yang langsung ada sangkut‐pautnya dengan hubungan-kerja,
dimaksudkannya peraturan‐peraturan mengenai persiapan bagi hubungan‐kerja yaitu
penempatan dalam arti‐kata yang luas, latihan dan magang, mengenai jaminan social buruh
serta peraturan‐peraturan mengenai badan dan organisasi‐organisasi di
lapangan perburuhan.
Di
dalam kepustakaan Indonesia, secara tradisional Hukum Perburuhan dibagi ke dalam
lima bagian, yaitu dengan mengikuti pandangan Profesor Iman Soepomo. Kendati
demikian, sejak awal abad ke-21, perundang-undangan dalam bidang kajian Hukum
Perburuhan direstrukturisasi dan dibagi ke dalam tiga legislasi utama:
UndangUndang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Voss
dan Surya, 2012).
1.2
Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Tujuan hukum ketenagakerjaan adalah:
1.
Untuk mencapai/melaksanakan
keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan
2.
Untuk melindungi
tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha
1.3
Karakteristik (Ciri-Ciri)
Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan
Di kebanyakan Negara di dunia
sekarang ini, Hukum Perburuhan
diakui sebagai disiplin hukum mandiri. Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dikarakteristikan oleh sejumlah ciri sebagai berikut (Voss dan Tjandra, 2012):
diakui sebagai disiplin hukum mandiri. Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dikarakteristikan oleh sejumlah ciri sebagai berikut (Voss dan Tjandra, 2012):
1.
Lebih banyak (aturan) hukum yang bersifat kolektif
Banyak disiplin atau bidang ilmu
hukum galibnya hanya mengatur hubungan antara warga masyarakat atau
korporasi/organisasi satu sama lain. Sebaliknya di dalam bidang kajian hukum
perburuhan, pengaturan yang ada mencakup tidak saja hubungan antara majikan dengan
buruh pada tataran individu, melainkan juga antara serikat pekerja dengan
asosiasi pengusaha satu dengan lainnya, termasuk juga antara
organisasi-organisasi tersebut dengan anggota-anggotanya. Ciri ini menjadikan
hukum perburuhan sebagai displin hukum tersendiri dengan telaahan spesifi atas
persoalan-persoalan serta solusi di bidang perburuhan.
2.
Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang lebih lemah)
Berbeda dengan titik tolak prinsip
dasar hukum keperdataan, kesetaraan para pihak, sebaliknya hukum perburuhan
beranjak dari pengakuan bahwa buruh dalam realitas relasi ekonomi bukanlah pihak
yang berkedudukan setara dengan majikan. Karena itu pula, maka hukum perburuhan
mendorong pendirian serikat pekerja dan mencakup aturan-aturan yang ditujukan
untuk melindungi buruh
terhadap kekuatan ekonomi yang ada di tangan majikan. Dalam perselisihan perburuhan, juga merupakan tugas pengadilan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum para pihak yang bersengketa. Hal ini, antara lain, dicapai dengan membantu buruh, yakni mengalihkan beban pembuktian untuk persoalan-persoalan tertentu kepada majikan.
terhadap kekuatan ekonomi yang ada di tangan majikan. Dalam perselisihan perburuhan, juga merupakan tugas pengadilan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum para pihak yang bersengketa. Hal ini, antara lain, dicapai dengan membantu buruh, yakni mengalihkan beban pembuktian untuk persoalan-persoalan tertentu kepada majikan.
3.
Pengintegrasian hukum privat dan hukum publik
Hukum perburuhan dapat dipandang
sebagai bagian hukum keperdataan maupun hukum publik, atau sebaliknya dianggap
sebagai cabang atau disiplin hukum mandiri. Untuk ahli hukum perburuhan kiranya tidak penting apakah suatu aturan
masuk ke dalam ranah hukum publik atau hukum keperdataan. Apa yang lebih
penting adalah bahwa aturan tersebut berlaku efektif. Hal ini sekaligus
mengimplikasikan bahwa hukum perburuhan mencakup bagian-bagian yang dapat dipandang masuk ke dalam ranah hukum publik maupun yang masuk ke dalam ranah hukum keperdataan. Sebahagian aturan dalam hukum perburuhan penegakannya diserahkan pada para pihak, sedangkan ada pula yang penegakannya akan dipaksakan dan diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lebih lanjut ada sejumlah peraturan yang memungkinkan penegakkannya dilakukan berbarengan oleh para pihak sendiri dengan aparat penegak hukum, baik secara individual maupun kolektif. Untuk mendapatkan pemahaman utuh atas hukum perburuhan, maka kita harus mempelajari semua bidang hukum dan
mencermati hukum perburuhan dari ragam perspektif berbeda.
mengimplikasikan bahwa hukum perburuhan mencakup bagian-bagian yang dapat dipandang masuk ke dalam ranah hukum publik maupun yang masuk ke dalam ranah hukum keperdataan. Sebahagian aturan dalam hukum perburuhan penegakannya diserahkan pada para pihak, sedangkan ada pula yang penegakannya akan dipaksakan dan diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lebih lanjut ada sejumlah peraturan yang memungkinkan penegakkannya dilakukan berbarengan oleh para pihak sendiri dengan aparat penegak hukum, baik secara individual maupun kolektif. Untuk mendapatkan pemahaman utuh atas hukum perburuhan, maka kita harus mempelajari semua bidang hukum dan
mencermati hukum perburuhan dari ragam perspektif berbeda.
4.
Sistem khusus berkenaan dengan penegakan
Penegakan hukum perburuhan memiliki
sejumlah ciri khusus. Di banyak Negara dapat kita temukan Inspektorat
Perburuhan (a Labour Inspectorate) bertanggung jawab untuk
mengawasi implementasi dan penegakan dari bagian bagian tertentu hukum
perburuhan. Hukum pidana maupun hukum administrasi didayagunakan untuk menegakkan
bagian-bagian hukum publik dari aturan dalam hukum perburuhan. Majikan maupun
buruh, di samping itu, dapat menerapkan
dan menegakkan sendiri sebahagian lainnya dari hukum perburuhan yang lebih bernuansa hukum privat. Namun juga organisasi kolektif seperti serikat pekerja dapat mendayagunakan semua instrumen penegakan di atas. Di samping itu banyak Negara juga mengenal dan mengembangkan sistem penyelesaian sengketa perburuhan khusus, yakni peradilan perburuhan (sengketa hubungan industrial). Alhasil, hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana,
hukum administrasi maupun hukum keperdataan. Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijkan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya.
dan menegakkan sendiri sebahagian lainnya dari hukum perburuhan yang lebih bernuansa hukum privat. Namun juga organisasi kolektif seperti serikat pekerja dapat mendayagunakan semua instrumen penegakan di atas. Di samping itu banyak Negara juga mengenal dan mengembangkan sistem penyelesaian sengketa perburuhan khusus, yakni peradilan perburuhan (sengketa hubungan industrial). Alhasil, hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana,
hukum administrasi maupun hukum keperdataan. Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijkan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya.
1.4 Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber Hukum Ketenagakerjaan menurut
Wahab (1994) dalam Evylia (2011), sebagai berikut:
1.
Undang–Undang
Undang–undang merupakan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
sesuai dengan tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini
pemerintah telah menetapkan beberapa undang–undang tentang ketenagakerjaan yang
berlandaskan Pancasila dan Undang–Undang Republik Indonesia tahun 1945, yang
diselenggarakan atas dasar asas keterpatuhan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat atau daerah, misal UndangUndang no 3 tahun
1992 tentang Jamsostek.
2.
Peraturan-Peraturan
Peraturan-peraturan yang dimaksud
adalah peraturan yang lebih rendah kedudukannya dan merupakan peraturan
pelaksanaan dari undang– undang yang dibuat oleh presiden atau menteri, antara
lain :
a.
Peraturan Pemerintah,
ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan, misal
Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
b.
Keputusan Pemerintah
adalah keputusan yang ditetapkan oleh presiden yang berisi keputusan yang
bersifat khusus dan mengatur hal tertentu saja, misalnya keputusan presiden
tentang pengangkatan ketua dan anggota panitia penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
c.
Peraturan atau
keputusan instansi lain dalam bidang ketenagakerjaan. Suatu instansi atau
pejabat tertentu yang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan dan keputusan
tertentu yang berlaku bagi umum misalnya keputusan menteri tenaga kerja no 159
tahun 1999 tentang penyelenggaran program Jamsostek bagi pekerja harian,
borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
1)
Kebiasaan
Kebiasaan
merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang–ulang dalam hal yang sama,
bila suatu kebiasaan telah diterima oleh masyarakat dan selalu berulang–ulang
dilakukan sedemikian rupa sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan
kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan
demikian timbul suatu kebiasaan yang dipandang sebagai hukum.
2)
Putusan
Dalam
membicarakan sumber hukum ketenagakerjaan penerapan dari lembaga penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sangat penting.Lembaga Perselisihan
Hubungan Industrial (PHI) dalam menyelesaikan berbagai macam perselisihan
ketenagakerjaan maupun putusan yang telah diambilnya dapat dijadikan pedoman
dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan berikutnya.
3)
Perjanjian
Perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak lain,
untuk melaksanakan suatu hal akibatnya pihak– pihak yang bersangkutan terikat
oleh isi perjanjian yang mereka buat itu.
4)
Traktat
Traktat adalah
perjanjian yang dibuat oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian antar
negara atau perjanjian internasional. Khusus dalam bidang ketenagakerjaan,
perjanjian dengan negara lain belum pernah diadakan (kecuali dalam konferensi
meja bundar tentang bantuan tenaga kerja sipil). Banyak kita jumpai adalah
ketentuan internasional hasil dari konferensi ILO (Internasional Labour
Organization) yang dikenal dengan istilah“Convention“.
Ketentuan inipun
agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh Negara peserta
misal :
a)
Convention no 19
tentang perlakuan yang sama bagi tenaga kerja asing dalam hal pemberian ganti
rugi pada kecelakaan.
b)
Convention no 100
tentang pengupahan yang sama antara buruh pria dan wanita mengenai pekerjaan
yang sama.
5)
Doktrin
Doktrin adalah
pendapat pakar ilmu hukum dapat dipergunakan sebagai landasan untuk memecahkan
masalah yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan masalah
ketenagakerjaan, karena itulah dapat dikualifikasikan sebagai salah satu sumber
hukum atau tempat menemukan dasar penyelesaian masalah.
1.5 Hubungan Kerja
Hubungan
Kerja Sesuai dengan kondisi dan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu
yang berbeda. Jenis pekerjaan dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni pekerjaan
yang dilakukan secara berulang–ulang atau pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus dalam jangka waktu yang tidak tertentu dan pekerjaan yang menurut sifat
dan jenis serta tuntutan kegiatannya perlu dilakukan dalam jangka waktu
tertentu yang relative pendek. Pekerjaan seperti yang jenis terakhir itu dapat
dikelola sendiri atau diborongkan kepada orang lain, kelompok atau unit usaha
lain. Berdasarkan hal tersebut diatas, terdapat 2 macam hubungan kerja yakni :
1.
Hubungan kerja
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu yang bersifat sementara pekerjaan atau kontrak dalam Undang–
Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikategorikan sebagai
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian yang hanya dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu yaitu :
a.
Pekerjaan yang sekali
selesai atau yang semntera sifatnya
b.
Pekerjaan yang
diperkirakan penyelelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 tahun.
c.
Pekerjaan yang
bersifat musiman
d.
Pekerjaan yang
berhubungan dengan prodak baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih
dalam pencobaan.
Perjanjian
kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui (Pasal 59 ayat 3).
Dengan jangka waktu diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (pasal 59 ayat 4).
Ketentuan tentang perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu
ini tata cara diatur dalam ayat 5 dan 6 Pasal 59 UU Nomer 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
2. Hubungan kerja berdasarkan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
Hubungan
kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja. Dalam Pasal 60
UU Nomer 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjan, perjanjian kerja waktu tidak
tertentu dapat mensyaratkan masa pencobaan kerja paling lama 3 bulan dan dalam
masa percobaan kerja paling lama 3 bulan dan dalam masa percobaan kerja
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku (UU Nomer
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
1.6 Pemutusan Hubungan Kerja
1.6.1
Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Undang-undang No 13 tahun 2003 pasal
1 angka 25 menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran
hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha (Ramadani, 2011).
Asyhadie
(2004) mengartikan pemutusan hubungan kerja sebagai langkah pengakhiran
hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan (pengusaha) yang
disebabkan karena suatu keadaan tertentu.
Mengenai PHK itu sendiri secara
khusus juga diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan berlakukan UU No. 2 Tahun 2004
tentang PPHI tersebut, undang-undang Nomor 12 tahun 1964 tentang pemutusan
hubungan kerja di perusahaan swasta dan undang-undang nomor 22 tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku
lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
PPHI (Ramadani, 2011).
1.6.2
Jenis-Jenis PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
secara teoritis terbagi dalam 4 (empat) macam, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) demi hukum, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pekerja/buruh dan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengadilan dan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) oleh pengusaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terakhir ini
tampaknya lebih dominan diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha sering tidak dapat diterima oleh
pekerja/buruh, sehingga menimbulkan permasalahan. Di samping perlunya
perlindungan bagi pekerja/buruh dari kemungkinan tindakan pengusaha yang
sewenang -wenang (Abdul Hakim, 2003).
1.
Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) demi hukum
Menurut Abdul Hakim (2003) bahwa
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi dengan sendirinya secara hukum.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum dalam praktek dan secara yuridis disebabkan
oleh :
a.
Berakhirnya Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
b.
Pekerja telah mencapai
usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c.
Pekerja meninggal
dunia.
2.
Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) oleh Pengadilan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pengadilan ialah tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena adanya putusan
hakim pengadilan. Dalam hal ini salah satu pihak (pengusaha atau pekerja/keluarganya)
mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan. Contohnya bila pengusaha
mempekerjakan anak di bawah umur (kurang 18 tahun), dimana wali anak tersebut
mengajukan pembatalan perjanjian kerja kepada pengadilan.
3.
Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) oleh Pekerja/Buruh
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pekerja/buruh adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang timbul karena kehendak
pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. Jadi, pemutusan
hubungan kerja (PHK) itu tidak hanya dilakukan oleh pengusaha, tetapi juga
dapat dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam praktek bentuknya adalah
pekerja/buruh mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja Lebih lanjut
Pasal 162 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur syarat-syarat
pengunduran diri yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh :
a.
Mengajukan permohonan
pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari)
sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b.
Tidak terikat dalam
ikatan dinas.
c.
Tetap menjalankan kewajibannya
sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pekerja/buruh juga dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 169 Undangundang Nomor 13 tahun 2003),
bila pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a.
Menganiaya, menghina
secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
b.
Membujuk dan atau
menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
c. Tidak membayar upah
tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) kali berturut-turut atau
lebih.
d.
Tidak melakukan
kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.
e.
Memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, atau.
f.
Memberikan pekerjaan
yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh,
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Terhadap pasal ini hendaknya pekerja/buruh
harus hati-hati dalam menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan penetapan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, karena jika alasan-alasan yang diajukan benar-benar terbukti
berakibat pekerja/buruh yang bersangkutan dapat di PHK oleh pengusaha, tanpa
harus ada penetapan dan tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja maupun penggantian hak lainnya.
4. Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pengusaha ialah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana kehendak atau prakarsanya
berasal dari pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan
oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan
tenaga kerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status dan sebagainya.
1.7
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan
Industrial menyatakan, “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja,
perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan
(Ramadani, 2011).
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan
Hubungan Industrial berada pada pengadilan umum (menurut implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-1/2003 terhadap
Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003) (Arifin, 2007).
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 selanjutnya mengatur tata cara penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase untuk
penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dan Pengadilan Hubungan
Industrial, yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus; di tingkat
pertama, mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja; di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Arifin, 2007).
1.
Bipartit
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menyebutkan
perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai bipartite yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Bipartit terdiri atas unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai bipartite yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Bipartit terdiri atas unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Ada pun mekanisme penyelesaian melalui
bipartit yaitu jika terjadi perselisihan hubungan industrial, maka wajib
diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah
untuk mencapai mufakat (Pasal 3). Sebab inilah cara yang terbaik agar dapat
memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian secara bipartit
dalam keputusan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR) disebut
sebagai penyelesaian secara negosiasi. Secara umum, negosiasi berarti upaya
penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan tanpa melibatkan pihak lain dengan
tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan
kreatif. Negosiasi merupakan komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif. Negosiasi
adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.
Tata cara penyelesaian secara
bipartit (negosiasi) dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, pada intinya adalah :
a.
Perundingan untuk
mencari penyelesaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan
oleh para pihak harus dibuatkan risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
Risalah yang dimaksud antara lain memuat :
a)
Nama dan alamat para
pihak.
b)
Tanggal dan tempat
perundingan
c)
Pokok masalah atau
alasan perselisihan
d)
Pendapat para pihak.
e)
Kesimpulan atau hasil
perundingan
f)
Tanggal serta tanda tangan
para pihak yang melakukan perundingan.
b.
Jika musyawarah yang
dilakukan mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak.
c.
Perjanjian bersama
tersebut bersifat mengikat dan menjadi hukum
serta wajib dilaksanakan para pihak.
serta wajib dilaksanakan para pihak.
d.
Perjanjian bersama
tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan
perjanjian bersama.
e.
Apabila perjanjian
bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapat
eksekusi.
f. Dalam hal pemohon
eksekusi berdomisili diluar pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama,
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Secara jelas dapat kita lihat bahwa
kesepakatan yang dihasilkan oleh para pihak yang dibuat dalam bentuk perjanjian
bersama mendapat jaminan hukum yang pasti dalam pelaksanaannya, yakni melalui
jalur upaya paksa (fiat eksekusi). Sehingga, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial segera mendapat kepastian hukum.
2. Mediasi
Pasal 1 angka
11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan mediasi
hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral
Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan
oleh seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap
suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral
serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: Kep-92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi dalam Pasal 10 bahwa mediator berkedudukan di :
Indonesia Nomor: Kep-92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi dalam Pasal 10 bahwa mediator berkedudukan di :
a. Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
b.
Kantor/Dinas/Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan provinsi.
c. Kantor/Dinas/Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan kabupaten/kota
3.
Konsiliasi
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut
konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-10/MEN/V/2005 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Konsiliator serta Tata Kerja Konsiliasi dalam
Pasal 8 bahwa konsiliator terdaftar di in stansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaaan kabupaten/kota. Untuk menjadi konsiliator menurut Pasal
2 ayat (1) seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu:
a.
beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
warga negara Indonesia
c.
berumur
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
d.
pendidikan minimal
lulusan Strata Satu (S1)
e.
berbadan sehat menurut
surat keterangan dokter
f.
berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela
g. memiliki pengalaman di
bidang hubungan industrial sekurangkurangnya 5 (lima) tahun
h.
menguasai peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaaan
i.
tidak berstatus
Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/POLRI
j.
lulus mengikuti
program latihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pada ayat (2) ditegaskan mengenai
pengalaman di bidang hubungan industrial yang dimaksud adalah
a.
penyelesaian perselisihan
hubungan industrial
b.
kuasa hukum
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
c.
pengurus serikat pekerja/serikat
buruh atau pengurus organisasi pengusaha
d. konsultan hukum bidang hubungan industrial
d.
pengelola sumber daya
manusia di perusahaan
e.
dosen, tenaga
pengajar, dan peneliti di bidang hubungan industrial
f.
anggota P4D/P4P atau
panitera P4D/P4P
g.
narasumber atau pembicara
dalam seminar, lokakarya, simposium, dan lain-lain di bidang hubungan
industrial.
Calon
konsiliator menurut Pasal 4 diusulkan oleh Bupati/Walikota
4.
Arbitrase
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Arbitrase Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
para pihak dan bersifat final.
Tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbiter menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah :
a.
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan
kedua belah pihak yang berselisih.
b.
Apabila para pihak
berhasil berdamai, arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian
yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter.
c.
Akte Perdamaian
tersebut didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
d.
Pendaftaran akta perdamaian.
e.
Apabila upaya
perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase.
meneruskan sidang arbitrase.
f.
Arbiter atau majelis
arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau
lebih untuk didengar keterangannya.
g.
Putusan sidang arbitrase
di tetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian
kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum.
h.
Dalam putusan,
ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari harus sudah dilaksanakan.
i.
Putusan arbitrase
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan
putusan yang bersifat akhir dan tetap.
j.
Putusan arbitrase
didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
pada pengadilan negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
k.
Apabila putusan
arbitrase tersebut tidak dilaksanakan salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi ke pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak
terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
l.
Terhadap keputusan
arbitrase, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
1)
Surat atau dokumen
yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau
dinyatakan palsu.
2)
Setelah putusan
diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh
pihak lawan.
3)
Keputusan diambil dari
tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
perselisihan.
4)
Putusan melampaui
kekuasaan arbiter hubungan industrial.
5)
Putusan bertentangan
dengan peraturan perundangundangan.
m.
Dalam hal permohonan
tersebut dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
5.
Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan hubungan industrial
merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004).
berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004).
Untuk menjamin penyelesaian yang
cepat, tepat, adil dan murah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui pengadilan hubungan industrial yang berada pada lingkungan peradilan
umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk
mengajukan upaya banding pada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan
Pemutusan Hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung sedangkan
putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu
perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pengadilan hubungan industrial yang
memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh
Majelis hakim yang beranggotakan 3 orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri
dan 2 orang hakim ad hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi
pengusaha.
Hasil proses mediasi, konsiliasi, hasil
perundingan bipartite yang sudah disepakati dituangkan dalam bentuk perjanjian
bersama "Didaftarkan" ke pengadilan hubungan industrial, dimana bukti
pendaftaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.
Kemudian jika perjanjian bersama sudah mendapatkan bukti pendaftaran dari
pengadilan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan
negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
1.8
Kesehatan Kerja
1.8.1
Pengertian Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja adalah spesialisasi
dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar pekerja
atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif
(pencegahan) dan kuratif (pengobatan), terhadap penyakit-penyakit atau
gangguangangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Kesehatan kerja
biasanya dihubungkan dengan higene perusahaan, yaitu suatu spesialisasi dalam
ilmu higene beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada
faktor-faktor penyebab penyakit, kualitatif dan kuantitatif dalam lingkungan
kerja dan perusahaan melalui pengukuran, yang hasilnya dipergunakan untuk dasar
tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta bila perlu pencegahan, agar
pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya akibat
kerja serta dimungkinkan menikmati derajat kesehatan setinggi-tingginya (Kansil
dan Christine, 2001)
1.8.2
Peraturan Kesehatan Kerja
Adanya peraturan perundangan dalam
praktek higene perusahaan dan kesehatan kerja sangatlah diperlukan, karena
dengan kekuatan undangundang lah pejabat - pejabat Departemen Tenaga Kerja atau
Departemen Kesehatan dapat melakukan inspeksi / pengawasan dan memaksakan
segala sesuatunya yang diatur oleh undang-undang atau peraturan lainnya kepada
perusahaan untuk mematuhinya. Apabila peringatanperingatan tidak diindahkan
maka atas kekuatan undang-undang pula dapat dipaksakan sanksi-sanksi menurut
undang-undang pula. Peraturan perundangan yang ada sangkut pautnya dengan
higene perusahaan dan kesehatan kerja adalah (Astawa, 2006):
a.
Undang-undang No. 12
Tahun 1948, Undang-undang Kerja, yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia
dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara 1951 Nomor 2; 128.
b.
Undang-undang No. 23
Tahun 1948, Undang-undang Pengawasan Perburuhan, yang diberlakukan untuk
seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1951, Lembaran Negara 1951
No. 4;
c.
Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 dan Nomor 13 Tahun 1950,
yang diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1951, Lembaran
Negara 1951 Nomor 7;
d.
Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Istirahat Tahunan Bagi Buruh, Lembaran Negara Tahun
1954 Nomor 37, yang diperluas lingkup berlakunya oleh Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KPTS.69/MEN/1980, Tentang Perluasan Lingkup
Istirahat Tahunan Bagi Buruh;
e.
Maatregelen ter
Beperking van de Kinder-arbeid en de Nacht-arbeid
van Vrouwen (Peraturan Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerjaan Wanita pada Malam Hari), Staatblad 1925 Nomor 647, juga Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor.PER.01/MEN/1987, Tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja;
van Vrouwen (Peraturan Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerjaan Wanita pada Malam Hari), Staatblad 1925 Nomor 647, juga Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor.PER.01/MEN/1987, Tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja;
f.
Bepalingen
Betreffende de Arbeid van Kinderen en Jeugdige
Personen aan Boord van Schepen (Peraturan tentang Pekerjaan Anak dan Orang Muda di Kapal) Staatsblad 1926 Nomor 87;
Personen aan Boord van Schepen (Peraturan tentang Pekerjaan Anak dan Orang Muda di Kapal) Staatsblad 1926 Nomor 87;
g.
Panglong reglement (peraturan Tentang Panglong) Staatsblad 1923 Nomor 220; 129
h.
Voorschriften
Omtrent de Dienst-en Rusttijden van Bestuurders van
Motorrijtuigen (Peraturan Tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor), Staatsblad 1936 Nomor 451;
Motorrijtuigen (Peraturan Tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor), Staatsblad 1936 Nomor 451;
i.
Stoom-ordonnantie (Peraturan Tentang Ketel Uap), Staatsblad 1930 Nomor 225;
j.
Stoom-verordening (Aturan Pelaksanaan Peraturan Tentang Ketel Uap) Staatsblad
1930 Nomor 336 diubah dengan Staatsblad 1934 Nomor 462 dan Staatsblad 1937
Nomor 324, juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1971 Tentang
Peraturan Pemungutan Biaya Pemeriksaan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di
Perusahaan;
k.
Loodwit-ordonnantie
(Aturan Pelaksanaan Peraturan tentang
Petasan) Staatsblad 1933 Nomor 10;
l.
Undang-undang
Kecelakaan tahun 1847;
m.
Undang-undang No. 23
Tahun 1953 Tentang Wajib Melaporkan Perusahaan. Undang-undang ini telag dicabut
oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan;
n.
Undang-undang No. 1
Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja;
o.
Undang-undang No. 3
Tahun 1969 tentang persetujuan konvensi ILO Nomor 120 tentang higene dalam
perniagaan dan kantor-kantor;
p.
Peraturan Menteri
Perburuhan Tahun 1964 tentang syarat-syarat kebersihan dan kesehatan tempat
kerja;
q.
Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 03/MEN/1982 tentang pelayanan kesehatan
kerja di perusahaan.
1.9
Keselamatan Kerja
Setiap tenaga kerja berhak
mendapatkan perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, setiap
orang lainnya yang berada ditempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yang
diatur ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik darat, dalam
tanah, dipermukaan air, dalam air dan udara yang berada dalam wilayah kekuasaan
hukum Republik Indonesia. Tujuan keselamatan kerja, antara lain melindungi
keselamatan pekerja dalam melaksanakan tugasnya, melindungi keselamatan orang
lain ditempat kerja, memelihara sumber produksi agar digunakan secara efisien.
Untuk melaksanakan keselamatan kerja diperlukan pegawai pengawas, ahli
keselamatan kerja dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).
Anggota (P2K3) terdiri dari wakil pimpinan perusahaan, 29 wakil buruh, teknisi
keselamatan kerja dan dokter perusahaan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1970
Tentang Keselamatan Kerja) (Evylia, 2011).
1.10
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang - undang yang mengatur
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah Undang - undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Jamsostek. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang No. 3
tahun 1992 adalah merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban
dari majikan. Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan
untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga
sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Disamping itu
program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain (Astawa, 2006):
1.
Memberikan
perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja
beserta keluarganya.
2.
Merupakan penghargaan
kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada
perusahaan tempatnya bekerja.
Dengan demikian jaminan sosial
tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerjaan tidak harus
meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi
resiko-resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya. Adapun
ruang lingkup pengaturan jaminan sosial bagi tenaga kerja meliputi (Astawa, 2006):
1.10.1
Jaminan Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja merupakan
kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja termasuk sakit akibat hubungan
kerja, demikian pula terhadap kecelakaan kerja yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang kembali melalui jalan yang
biasa/wajar dilalui. Iuran jaminan kecelakaan kerja ini sepenuhnya ditanggung
oleh pengusaha yang besarnya antara 0,24-1,74% dari upah kerja sebulan.
Besarnya iuran sangat tergantung dari tingkat resiko kecelakaan yang mungkin
terjadi dari suatu jenis usaha tertentu, semakin besar tingkat resiko tersebut,
semakin besar iuran kecelakaan kerja yang harus dibayar dan sebaliknya, semakin
kecil tingkat resiko semakin kecil pula iuran yang harus dibayar.
1.10.2
Jaminan Kematian
Kematian yang mendapatkan santunan
adalah tenaga kerja yang meninggal dunia pada saat menjadi peserta Jamsostek.
Jaminan ini dimaksudkan untuk turut menanggulangi meringankan beban keluarga
yang ditinggalkan dengan cara pemberian santunan biaya pemakaman. Besarnya
jaminan kematian ini adalah 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.
14 Tahun 1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) disebutkan bahwa
jaminan dibayar sekaligus (lumpsum) kepada janda atau duda atau anak
yang meliputi: 1) Santunan kematian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
2) Biaya pemakaman sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) Jika janda
atau duda atau anak tidak ada maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada
keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus kebawah dan
garis lurus ke atas dihitung sampai dengan derajat kedua.
1.10.3
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan
untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya. Program pemeliharaan kesehatan ini merupakan upaya
penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Jaminan ini
meliputi upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pemulihan (rehabilitatif).
Iuran jaminan pemeliharaan kesehatan ini ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha
yang besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang sudah
berkeluarga dan 3% sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga. Jaminan
pemeliharaan kesehatan diberikan kepada tenaga kerja atau suami isteri yang sah
dan anak sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Jaminan ini meliputi:
a.
Perawatan rawat jalan
tingkat pertama.
b. Rawat jalan tingkat lanjutan.
c.
Rawat inap.
d. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
e.
Penunjang diagnostik.
f.
Pelayanan khusus.
g. Pelayanan gawat darurat.
(Pasal 3 Ayat
(1). Pasal 35 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993).
Dalam penyelenggaraan paket jaminan
pemeliharaan kesehatan dasar, badan penyelenggara wajib:
a.
Memberikan kartu
pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta.
b.
Memberikan keterangan
yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang
diselenggarakan.
1.10.4
Tabungan Hari Tua
Hari tua adalah umur pada saat
produktivitas tenaga kerja menurun, sehingga perlu diganti dengan tenaga kerja
yang lebih muda. Termasuk dalam penggantian ini adalah jika tenaga kerja
tersebut cacat tetap dan total (total and permanent disability).
Pembayaran iuran jaminan hari tua menjadi tanggung jawab bersama antara pekerja
dan pengusaha yakni 3,70% ditanggung pengusaha dan 2% ditanggung oleh pekerja
(Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993). Adanya peran serta
tenaga kerja dalam pembayaran iuran jaminan hari tua ini dimaksudkan
semata-mata untuk mendidik tenaga kerja agar perlunya perlindungan di hari tua.
Untuk itu perlu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menghadapi hari tua
tersebut.
1.11Studi Kasus Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Musiman di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo
Kabupaten Sragen
Tujuan dari penelitian ini adalah
(1) Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian waktu tertentu yang
pekerjaanya bersifat musiman di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo
Kabupaten Sragen dan bagaimana penyelesaianya. (2) Untuk mengetahui apakah hak
dan kewajiban bagi para pihak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum bagi para pihak bila ada
wanprestasi.
Penelitian ini menggunakan metode
analisis data dengan metode kualitatif, metode kualitatif dilakukan dengan
menganalisis data yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen,
buku-buku kepustakaan, dan literature lainnya yang berkaitan dengan dengan
proses pelaksanaan perlindungan hukum bagi perjanjian kerja waktu tertentu yang
pekerjaanya bersifat musiman yang ada di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero)
P.G Mojo Kabupaten Sragen. Yang kemudian akan dihubungkan dengan data-data yang
diperoleh penulis dari studi lapangan yang berupa hasil wawancara dengan
responden atau narasumber yang bersangkutan, untuk kemudian dilakukan
pengumpulan dan penyusunan data secara sistematis serta menguraikannya dengan
kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.
Jenis dan sumber data yang dipakai
dalam penelitian ini adalah: (1) Data Sekunder, data dari hasil studi
kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. (2) Data Primer adalah Data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama. 11 Yaitu dengan melakukan penelitian langsung terjun ke lokasi
Penelitian dan subyek yang diteliti yaitu dengan informan atau responden yang
berkompeten dalam permasalahan mengenai ketenagakerjaan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (pekerjaan musiman) yang ada di PT
Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen
Untuk status PKWT di P.G Mojo
terdapat PKWT musiman dan PKWT musiman semi tetap yang sering disebut dengan istilah
kampanye. Saat penulis melakukan wawancara, pihak perusahaan mengaku bahwa PKWT
semi tetap tidak diatur dalam peraturan, namun ada di P.G Mojo. Dilihat dari
isi Pasal 56 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang berisi
“Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”.
“Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”.
Berdasarkan Pasal 56 tersebut,
dijelaskan bahwa perjanjian kerja hanya dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu. Yang dimaksud dengan waktu tertentu disini adalah pekerja
dengan status tidak tetap (PKWT), dan
waktu tidak tertentu merupakan pekerja yang memiliki status pekerja tetap
(PKWTT). Dengan demikian PKWT kampanye yang memiliki status pegawai semi tetap
tidak ada yang mengaturnya, dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Hak dan Kewajiban bagi Para Pihak Sudah Sesuai atau Tidak Dengan Peraturan
Perundang-undangan
Berdasarkan hasil penelitian jelas
bahwa hak untuk mendapatkan ijin tidak masuk kerja sesuai dengan kalusul
perjanjian kerja tidak berlaku bagi PKWT musiman dan belum sesuai dengan Pasal
93 Ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PKWT
juga memiliki hak istirahat selama satu hari dalam seminggu. Hal tersebut
sesuai dengan Pasal 29 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19
tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain yang mengatur tentang PKWT. Namun hal tersebut juga
tidak ada, dan PKWT Musiman tetap bekerja dengan mendapat upah lembur.
Tanggung Jawab Hukum bagi Para Pihak Bila Ada Wanprestasi
Wanprestasi adalah suatu keadaan
yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi
prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Hasil penelitian berikutnya PKWT
dapat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila tidak masuk kerja selama
enam hari berturut. PHK sendiri dalam peraturan sebenarnya sangat dihindari
agar tidak dilakukan perusahaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 151
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa
perusahaan harus menghindari PHK, jika tidak dapat dihindari maka wajib
dirundingkan oleh perusahaan dan serikat pekerja atau dengan pekerja langsung.
Apabila upaya perundingan tidak
berhasil, maka perusahaan hanya dapat melakukan PHK pekerjanya dengan
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Maka apabila perusahaan hanya sepihak dalam melakukan PHK tanpa
adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
maka hal tersebut tidak sesuai 10 dengan Pasal 151 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kemudian mengenai perbuatan melawan
hukum, dari hasil penelitian dijelaskan memang pernah ada yakni pengemudi PKWT
yang pekerjaanya bersifat musiman mencuri blotong. Menurut Nin Yasmine Lisasih
konsekuensi perbuatan melawan hukum yakni tiap perbuatan melawan hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Ganti rugi juga diatur pada Pasal
1365 KUH Perdata. Namun adanya perbuatan melawan hukum tersebut, perusahaan
hanya memberi peringatan surat peryataan untuk tidak mengulanginya lagi dan
memberi nasehat. Perusahaan tidak meminta ganti rugi atas perbuatanya tersebut.
Sehingga dalam hasil penelitian, perusahaan mengedepankan upaya mediasi dengan
pekerja dan tidak langsung meminta ganti kerugian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Hukum ketenagakerjaan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang
pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara
buruh dengan buruh dan antara
buruh dengan penguasa. Tujuan hukum ketenagakerjaan
adalah untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan
serta untuk melindungi tenaga kerja terhadap
kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.
2.
Sumber hukum ketenagakerjaan
adalah undang-undang dan peraturan-peraturan.
3.
Terdapat 2 macam hubungan
kerja yakni: Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
dan Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT).
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
4.
Perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja atau serikat
buruh dalam satu perusahaan. Cara penyelesaian hubungan industrial dapat
dilakukan melalui bipartrit, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, pengadilan hubungan industrial.
5.
Kesehatan kerja adalah spesialisasi
dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar pekerja
atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif
(pencegahan) dan kuratif (pengobatan), terhadap penyakit-penyakit atau
gangguangangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Sedangkan keselamatan
kerja membahas setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, setiap orang lainnya yang
berada ditempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya
6.
Jamsostek adalah adalah
merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari
majikan. Jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
7.
Salah satu studi kasus
dilapangan adalah perlindungan
hukum terhadap pekerja musiman di PT. Perkebunan Nusantara Ix (Persero) P.G
Mojo Kabupaten Sragen.
3.2 Saran
Seringkali
terlihat hubungan yang kurang baik antara perusahaan dengan tenaga kerja
sehingga memungkinkan terjadinya hal yang tidak diinginkan dan merugikan tenaga
kerja. Oleh sebab itu, penulis sangat berharap dalam mempelajari hukum
ketengakerjaan pembaca dapat bijaksana dalam menggunakan ilmu pengetahuanya
segingga dapat dimanfaatkan guna menggindari hal-hal yang tidak diinginkan dan
penerapan hukum dapat digunakan untuk
kesejahteraan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hakim. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Arifin, Ariani. 2007. Pelaksanaan
Fungsi Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Penanganan Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja.
Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Hasanuddin Makassar.
Asyhadie,
Zaeni. 2008. Hukum Kerja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Astawa, I Dewa Rai. 2006. Aspek Perlindungan Hukum Hak – Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Tesis. Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Evylia,
Sheinora Meeryline. 2011. Tinjauan
Yuridis Terhadap Pola Pengupahan Pada
Tenaga Kerja Kontrak di Lembaga Gema Hosana. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas
Stikubank (Unisbank) Semarang.
Kansil,
dan Christine. 2001. Kitab Undang-undang Ketenagakerjaan. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Kusuma, Sawitri Dian. 2012. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) Karena Kesalahan Berat
Pada Tingkat Mediasi di Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.
Latupono, Barzah. 2011.
Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia Terhadap Pekerja Kontrak (Outsourcing) Di Kota Ambon. Jurnal Sasi Vol. 17 (3): 59-69.
Prabowo, Yohanes Andreyanto. 2015. Studi Kasus Terhadap Keterlambatan Pembayaran Upah Pekerja/Buruh di Kontraktor Agawe Studio
Giwangan Yogyakarta. Jurnal. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Ramadani,
Nur. 2011. Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Kontrak yang di PHK dalam Masa
Kontrak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 271/G/2009/Phi.Sby). Skripsi. Program
Studi Ilmu Hukum Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Surabaya.
Soepomo, Iman. 1995. Pengantar Hukum Perburuhan
(Djambatan, Jakarta, Cet. XI, 1995).
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment