MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (MSDM) | HUKUM KETENAGAKERJAAN

No comments
BAB I 
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat maka pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang khususnya bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan pembangunan di bidang ekonomi memiliki pengaruh dan berkaitan erat dengan bidang-bidang lainnya seperti bidang sosial, politik, budaya, pendidikan, pertahanan keamanan, serta bidang-bidang lainnya. Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dalam berbagai sektor (Prabowo, 2015).
            Keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi diharapkan mampu memberikan dukungan terhadap pembangunan di bidang lainnya sehingga tujuan pembangunan nasional dapat terwujud. Indikasi tercapainya peningkatan kesejahteraan dan keadilan rakyat dapat dilihat dari adanya pemerataan pendapatan perkapita dan peningkatan daya beli masyarakat.  Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari hubungan kerja yang terbentuk di dalam suatu perusahaan.
            Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial  yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasioal karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha dan pekerja (Kusuma, 2012).
            Hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah sebuah hubungan hukum yang didasarkan pada sebuah perjanjian kerja dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi (Prabowo, 2015). Pekerja/buruh mempunyai peranan penting dalam sebuah hubungan industrial, karena apabila tidak ada unsur pekerja maka sebuah perusahaan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun keadaan saling membutuhkan antara pengusaha dan pekerja/buruh ini tidak selalu dapat berjalan secara harmonis karena 2 egoisme masing-masing pihak. Perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh kadangkala terjadi karena masing-masing pihak merasa memberikan kontribusi paling besar atas keberhasilan suatu perusahaan.
            Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan maupun kolektif. Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/ penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka (Voss dan Surya, 2012).
            Perlindungan terhadap pekerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas apapun untuk mewujudkan kesejatraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja yakni Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan dan peraturan pelaksana dari perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan (Latupono, 2011).
1.2  Tujuan
1.        Mengetahui pengertian serta tujuan hukum ketenagakerjaan.
2.        Mengetahui sumber hukum ketenagakerjaan.
3.        Mengetahui tentang hubungan kerja serta PHK
4.        Mengetahui tentang perselisihan hubungan industrial dan cara penyelesaiaanya
5.        Mengetahui tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta hukum yang mengatur
6.        Mengetahui pengertian, hukum serta ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja
7.        Mengetahui salah satu kasus yang ada di lapangan.
1.3  Manfaat
            Manfaat dari makalah ini adalah dapat menambah ilmu dan pengetahuan  mengenai tentang hukum ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1    Pengertian Hukum Perburuhan/Ketengakerjaan
            Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan Labour Law) adalah bagian baik bersifat perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan pengusaha/majikan). Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok,
jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka
(Voss dan Surya, 2012).
            Ada  berbagai  rumusan  tentang  arti  dari  istilah  Hukum Ketenagakerjaan. Termuat di buku Iman Soepomo yang berjudul Pengantar Hukum Perburuhan beberapa pengertian yang diambil dari ahli hukum perburuhan. Beberapa di antaranya adalah (Soepomo, 1995):
            Molenaar; sarjana Belanda ini mengatakan bahwa "ar-beidsrecht" (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.  
            M.G.  Levenbach;    merumuskan  hukum  perburuhan  atau arbeidsrecht sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan keadaan penghidupan yang langsung ada sangkutpautnya dengan hubungan-kerja, dimaksudkannya peraturanperaturan mengenai persiapan bagi hubungankerja yaitu penempatan dalam artikata yang luas, latihan dan magang, mengenai jaminan social buruh serta peraturanperaturan mengenai badan dan organisasiorganisasi di lapangan perburuhan.  
            Di dalam kepustakaan Indonesia, secara tradisional Hukum Perburuhan dibagi ke dalam lima bagian, yaitu dengan mengikuti pandangan Profesor Iman Soepomo. Kendati demikian, sejak awal abad ke-21, perundang-undangan dalam bidang kajian Hukum Perburuhan direstrukturisasi dan dibagi ke dalam tiga legislasi utama: UndangUndang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Voss dan Surya, 2012).
1.2    Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
            Tujuan hukum ketenagakerjaan adalah:
1.        Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan
2.        Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha
1.3    Karakteristik (Ciri-Ciri) Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan
            Di kebanyakan Negara di dunia sekarang ini, Hukum Perburuhan
diakui sebagai disiplin hukum mandiri. Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dikarakteristikan oleh sejumlah ciri sebagai berikut (Voss dan Tjandra, 2012):
1.        Lebih banyak (aturan) hukum yang bersifat kolektif
            Banyak disiplin atau bidang ilmu hukum galibnya hanya mengatur hubungan antara warga masyarakat atau korporasi/organisasi satu sama lain. Sebaliknya di dalam bidang kajian hukum perburuhan, pengaturan yang ada mencakup tidak saja hubungan antara majikan dengan buruh pada tataran individu, melainkan juga antara serikat pekerja dengan asosiasi pengusaha satu dengan lainnya, termasuk juga antara organisasi-organisasi tersebut dengan anggota-anggotanya. Ciri ini menjadikan hukum perburuhan sebagai displin hukum tersendiri dengan telaahan spesifi atas persoalan-persoalan serta solusi di bidang perburuhan.
2.        Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang lebih lemah)
            Berbeda dengan titik tolak prinsip dasar hukum keperdataan, kesetaraan para pihak, sebaliknya hukum perburuhan beranjak dari pengakuan bahwa buruh dalam realitas relasi ekonomi bukanlah pihak yang berkedudukan setara dengan majikan. Karena itu pula, maka hukum perburuhan mendorong pendirian serikat pekerja dan mencakup aturan-aturan yang ditujukan untuk melindungi buruh
terhadap kekuatan ekonomi yang ada di tangan majikan. Dalam perselisihan perburuhan, juga merupakan tugas pengadilan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum para pihak yang bersengketa. Hal ini, antara lain, dicapai dengan membantu buruh, yakni mengalihkan beban pembuktian untuk persoalan-persoalan tertentu kepada majikan.
3.        Pengintegrasian hukum privat dan hukum publik
            Hukum perburuhan dapat dipandang sebagai bagian hukum keperdataan maupun hukum publik, atau sebaliknya dianggap sebagai cabang atau disiplin hukum mandiri. Untuk ahli hukum perburuhan  kiranya tidak penting apakah suatu aturan masuk ke dalam ranah hukum publik atau hukum keperdataan. Apa yang lebih penting adalah bahwa aturan tersebut berlaku efektif. Hal ini sekaligus
mengimplikasikan bahwa hukum perburuhan mencakup bagian-bagian yang dapat dipandang masuk ke dalam ranah hukum publik maupun yang masuk ke dalam ranah hukum keperdataan. Sebahagian aturan dalam hukum perburuhan penegakannya diserahkan pada para pihak, sedangkan ada pula yang penegakannya akan dipaksakan dan diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lebih lanjut ada sejumlah peraturan yang memungkinkan penegakkannya dilakukan berbarengan oleh para pihak sendiri dengan aparat penegak hukum, baik secara individual maupun kolektif. Untuk mendapatkan pemahaman utuh atas hukum perburuhan, maka kita harus mempelajari semua bidang hukum dan
mencermati hukum perburuhan dari ragam perspektif berbeda.
4.        Sistem khusus berkenaan dengan penegakan
            Penegakan hukum perburuhan memiliki sejumlah ciri khusus. Di banyak Negara dapat kita temukan Inspektorat Perburuhan (a Labour Inspectorate) bertanggung jawab untuk mengawasi implementasi dan penegakan dari bagian bagian tertentu hukum perburuhan. Hukum pidana maupun hukum administrasi didayagunakan untuk menegakkan bagian-bagian hukum publik dari aturan dalam hukum perburuhan. Majikan maupun buruh, di samping itu, dapat menerapkan
dan menegakkan sendiri sebahagian lainnya dari hukum perburuhan yang lebih bernuansa hukum privat. Namun juga organisasi kolektif seperti serikat pekerja dapat mendayagunakan semua instrumen penegakan di atas. Di samping itu banyak Negara juga mengenal dan mengembangkan sistem penyelesaian sengketa perburuhan khusus, yakni peradilan perburuhan (sengketa hubungan industrial). Alhasil, hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana,
hukum administrasi maupun hukum keperdataan. Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijkan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya.
1.4    Sumber Hukum Ketenagakerjaan
            Sumber Hukum Ketenagakerjaan menurut Wahab (1994) dalam Evylia (2011), sebagai berikut:
1.        Undang–Undang
            Undang–undang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sesuai dengan tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan beberapa undang–undang tentang ketenagakerjaan yang berlandaskan Pancasila dan Undang–Undang Republik Indonesia tahun 1945, yang diselenggarakan atas dasar asas keterpatuhan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat atau daerah, misal UndangUndang no 3 tahun 1992 tentang Jamsostek.
2.        Peraturan-Peraturan
            Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang lebih rendah kedudukannya dan merupakan peraturan pelaksanaan dari undang– undang yang dibuat oleh presiden atau menteri, antara lain :
a.         Peraturan Pemerintah, ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan, misal Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
b.        Keputusan Pemerintah adalah keputusan yang ditetapkan oleh presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus dan mengatur hal tertentu saja, misalnya keputusan presiden tentang pengangkatan ketua dan anggota panitia penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
c.         Peraturan atau keputusan instansi lain dalam bidang ketenagakerjaan. Suatu instansi atau pejabat tertentu yang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan dan keputusan tertentu yang berlaku bagi umum misalnya keputusan menteri tenaga kerja no 159 tahun 1999 tentang penyelenggaran program Jamsostek bagi pekerja harian, borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
1)      Kebiasaan
Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang–ulang dalam hal yang sama, bila suatu kebiasaan telah diterima oleh masyarakat dan selalu berulang–ulang dilakukan sedemikian rupa sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan yang dipandang sebagai hukum.
2)      Putusan
Dalam membicarakan sumber hukum ketenagakerjaan penerapan dari lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sangat penting.Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dalam menyelesaikan berbagai macam perselisihan ketenagakerjaan maupun putusan yang telah diambilnya dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan berikutnya.
3)      Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak lain, untuk melaksanakan suatu hal akibatnya pihak– pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka buat itu.
4)      Traktat
Traktat adalah perjanjian yang dibuat oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian antar negara atau perjanjian internasional. Khusus dalam bidang ketenagakerjaan, perjanjian dengan negara lain belum pernah diadakan (kecuali dalam konferensi meja bundar tentang bantuan tenaga kerja sipil). Banyak kita jumpai adalah ketentuan internasional hasil dari konferensi ILO (Internasional Labour Organization) yang dikenal dengan istilah“Convention“.
Ketentuan inipun agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh Negara peserta misal :
a)      Convention no 19 tentang perlakuan yang sama bagi tenaga kerja asing dalam hal pemberian ganti rugi pada kecelakaan.
b)      Convention no 100 tentang pengupahan yang sama antara buruh pria dan wanita mengenai pekerjaan yang sama.
5)      Doktrin
Doktrin adalah pendapat pakar ilmu hukum dapat dipergunakan sebagai landasan untuk memecahkan masalah yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan masalah ketenagakerjaan, karena itulah dapat dikualifikasikan sebagai salah satu sumber hukum atau tempat menemukan dasar penyelesaian masalah.
1.5    Hubungan Kerja
            Hubungan Kerja Sesuai dengan kondisi dan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu yang berbeda. Jenis pekerjaan dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni pekerjaan yang dilakukan secara berulang–ulang atau pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang tidak tertentu dan pekerjaan yang menurut sifat dan jenis serta tuntutan kegiatannya perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang relative pendek. Pekerjaan seperti yang jenis terakhir itu dapat dikelola sendiri atau diborongkan kepada orang lain, kelompok atau unit usaha lain. Berdasarkan hal tersebut diatas, terdapat 2 macam hubungan kerja yakni :
1.        Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
            Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara pekerjaan atau kontrak dalam Undang– Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikategorikan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu :
a.       Pekerjaan yang sekali selesai atau yang semntera sifatnya
b.      Pekerjaan yang diperkirakan penyelelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun.
c.       Pekerjaan yang bersifat musiman
d.      Pekerjaan yang berhubungan dengan prodak baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam pencobaan.
            Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui (Pasal 59 ayat 3). Dengan jangka waktu diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (pasal 59 ayat 4). Ketentuan tentang perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini tata cara diatur dalam ayat 5 dan 6 Pasal 59 UU Nomer 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
2. Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
            Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja. Dalam Pasal 60 UU Nomer 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa pencobaan kerja paling lama 3 bulan dan dalam masa percobaan kerja paling lama 3 bulan dan dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku (UU Nomer 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
1.6    Pemutusan Hubungan Kerja
1.6.1        Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
            Undang-undang No 13 tahun 2003 pasal 1 angka 25 menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha (Ramadani, 2011).
            Asyhadie (2004) mengartikan pemutusan hubungan kerja sebagai langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan (pengusaha) yang disebabkan karena suatu keadaan tertentu.
            Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan berlakukan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI tersebut, undang-undang Nomor 12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta dan undang-undang nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI (Ramadani, 2011).
1.6.2        Jenis-Jenis PHK
            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara teoritis terbagi dalam 4 (empat) macam, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pekerja/buruh dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengadilan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terakhir ini tampaknya lebih dominan diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha sering tidak dapat diterima oleh pekerja/buruh, sehingga menimbulkan permasalahan. Di samping perlunya perlindungan bagi pekerja/buruh dari kemungkinan tindakan pengusaha yang sewenang -wenang (Abdul Hakim, 2003).
1.        Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum
            Menurut Abdul Hakim (2003) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi dengan sendirinya secara hukum. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum dalam praktek dan secara yuridis disebabkan oleh :
a.       Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
b.      Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c.       Pekerja meninggal dunia.
2.        Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengadilan
            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengadilan ialah tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena adanya putusan hakim pengadilan. Dalam hal ini salah satu pihak (pengusaha atau pekerja/keluarganya) mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan. Contohnya bila pengusaha mempekerjakan anak di bawah umur (kurang 18 tahun), dimana wali anak tersebut mengajukan pembatalan perjanjian kerja kepada pengadilan.
3.        Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pekerja/Buruh
            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pekerja/buruh adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. Jadi, pemutusan hubungan kerja (PHK) itu tidak hanya dilakukan oleh pengusaha, tetapi juga dapat dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam praktek bentuknya adalah pekerja/buruh mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja Lebih lanjut Pasal 162 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur syarat-syarat pengunduran diri yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh :
a.       Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b.      Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c.       Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pekerja/buruh juga dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 169 Undangundang Nomor 13 tahun 2003), bila pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a.       Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
b.      Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
c.  Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) kali berturut-turut atau lebih.
d.      Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.
e.       Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, atau.
f.        Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
            Terhadap pasal ini hendaknya pekerja/buruh harus hati-hati dalam menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan penetapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, karena jika alasan-alasan yang diajukan benar-benar terbukti berakibat pekerja/buruh yang bersangkutan dapat di PHK oleh pengusaha, tanpa harus ada penetapan dan tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun penggantian hak lainnya.
4. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha
            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha ialah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana kehendak atau prakarsanya berasal dari pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status dan sebagainya.
1.7    Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
            Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan, “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan (Ramadani, 2011).
            Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial berada pada pengadilan umum (menurut implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-1/2003 terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003) (Arifin, 2007).
            Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 selanjutnya mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase untuk penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dan Pengadilan Hubungan Industrial, yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus; di tingkat pertama, mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Arifin, 2007).
1.        Bipartit
          Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai bipartite yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Bipartit terdiri atas unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
            Ada pun mekanisme penyelesaian melalui bipartit yaitu jika terjadi perselisihan hubungan industrial, maka wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3). Sebab inilah cara yang terbaik agar dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian secara bipartit dalam keputusan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Secara umum, negosiasi berarti upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif. Negosiasi merupakan komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif. Negosiasi adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.
            Tata cara penyelesaian secara bipartit (negosiasi) dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, pada intinya adalah :
a.       Perundingan untuk mencari penyelesaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan oleh para pihak harus dibuatkan risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah yang dimaksud antara lain memuat :
a)      Nama dan alamat para pihak.
b)      Tanggal dan tempat perundingan
c)      Pokok masalah atau alasan perselisihan
d)      Pendapat para pihak.
e)      Kesimpulan atau hasil perundingan
f)       Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
b.      Jika musyawarah yang dilakukan mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
c.       Perjanjian bersama tersebut bersifat mengikat dan menjadi hukum
serta wajib dilaksanakan para pihak.
d.      Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama.
e.       Apabila perjanjian bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapat eksekusi.
f.  Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
            Secara jelas dapat kita lihat bahwa kesepakatan yang dihasilkan oleh para pihak yang dibuat dalam bentuk perjanjian bersama mendapat jaminan hukum yang pasti dalam pelaksanaannya, yakni melalui jalur upaya paksa (fiat eksekusi). Sehingga, penyelesaian perselisihan hubungan industrial segera mendapat kepastian hukum.
2.  Mediasi
            Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral
            Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan oleh seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan.
            Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: Kep-92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi dalam Pasal 10 bahwa mediator berkedudukan di :
a.      Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
b.      Kantor/Dinas/Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan provinsi.
c.  Kantor/Dinas/Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan kabupaten/kota
3.        Konsiliasi
      Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
     Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-10/MEN/V/2005 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Konsiliator serta Tata Kerja Konsiliasi dalam Pasal 8 bahwa konsiliator terdaftar di in stansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan kabupaten/kota. Untuk menjadi konsiliator menurut Pasal 2 ayat (1) seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu:
a.       beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.      warga negara Indonesia
c.       berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
d.      pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1)
e.       berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
f.        berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
g.     memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya 5 (lima) tahun
h.      menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaaan
i.        tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/POLRI
j.        lulus mengikuti program latihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
            Pada ayat (2) ditegaskan mengenai pengalaman di bidang hubungan industrial yang dimaksud adalah
a.       penyelesaian perselisihan hubungan industrial
b.      kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial
c.       pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha
d.      konsultan hukum bidang hubungan industrial
d.      pengelola sumber daya manusia di perusahaan
e.       dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan industrial
f.        anggota P4D/P4P atau panitera P4D/P4P
g.      narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium, dan lain-lain di bidang hubungan industrial.
Calon konsiliator menurut Pasal 4 diusulkan oleh Bupati/Walikota
4.        Arbitrase
          Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
          Tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah :
a.       Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
b.      Apabila para pihak berhasil berdamai, arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
c.       Akte Perdamaian tersebut didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
d.      Pendaftaran akta perdamaian.
e.       Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase.
f.        Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
g.      Putusan sidang arbitrase di tetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum.
h.      Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari harus sudah dilaksanakan.
i.        Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
j.        Putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
k.      Apabila putusan arbitrase tersebut tidak dilaksanakan salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
l.        Terhadap keputusan arbitrase, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1)      Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu.
2)      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3)      Keputusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan.
4)      Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial.
5)      Putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
m.    Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
5.        Pengadilan Hubungan Industrial
            Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004).
            Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding pada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung sedangkan putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
       Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis hakim yang beranggotakan 3 orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri dan 2 orang hakim ad hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha.
      Hasil proses mediasi, konsiliasi, hasil perundingan bipartite yang sudah disepakati dituangkan dalam bentuk perjanjian bersama "Didaftarkan" ke pengadilan hubungan industrial, dimana bukti pendaftaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. Kemudian jika perjanjian bersama sudah mendapatkan bukti pendaftaran dari pengadilan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
1.8    Kesehatan Kerja
1.8.1        Pengertian Kesehatan Kerja
            Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan), terhadap penyakit-penyakit atau gangguangangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Kesehatan kerja biasanya dihubungkan dengan higene perusahaan, yaitu suatu spesialisasi dalam ilmu higene beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit, kualitatif dan kuantitatif dalam lingkungan kerja dan perusahaan melalui pengukuran, yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta bila perlu pencegahan, agar pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja serta dimungkinkan menikmati derajat kesehatan setinggi-tingginya (Kansil dan Christine, 2001)
1.8.2        Peraturan Kesehatan Kerja
            Adanya peraturan perundangan dalam praktek higene perusahaan dan kesehatan kerja sangatlah diperlukan, karena dengan kekuatan undangundang lah pejabat - pejabat Departemen Tenaga Kerja atau Departemen Kesehatan dapat melakukan inspeksi / pengawasan dan memaksakan segala sesuatunya yang diatur oleh undang-undang atau peraturan lainnya kepada perusahaan untuk mematuhinya. Apabila peringatanperingatan tidak diindahkan maka atas kekuatan undang-undang pula dapat dipaksakan sanksi-sanksi menurut undang-undang pula. Peraturan perundangan yang ada sangkut pautnya dengan higene perusahaan dan kesehatan kerja adalah (Astawa, 2006):
a.       Undang-undang No. 12 Tahun 1948, Undang-undang Kerja, yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara 1951 Nomor 2; 128.
b.      Undang-undang No. 23 Tahun 1948, Undang-undang Pengawasan Perburuhan, yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1951, Lembaran Negara 1951 No. 4;
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 dan Nomor 13 Tahun 1950, yang diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1951, Lembaran Negara 1951 Nomor 7;
d.      Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Istirahat Tahunan Bagi Buruh, Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 37, yang diperluas lingkup berlakunya oleh Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KPTS.69/MEN/1980, Tentang Perluasan Lingkup Istirahat Tahunan Bagi Buruh;
e.       Maatregelen ter Beperking van de Kinder-arbeid en de Nacht-arbeid
van Vrouwen (Peraturan Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerjaan Wanita pada Malam Hari), Staatblad 1925 Nomor 647, juga Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor.PER.01/MEN/1987, Tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja;
f.        Bepalingen Betreffende de Arbeid van Kinderen en Jeugdige
Personen aan Boord van Schepen (Peraturan tentang Pekerjaan Anak dan Orang Muda di Kapal) Staatsblad 1926 Nomor 87;
g.      Panglong reglement (peraturan Tentang Panglong) Staatsblad 1923 Nomor 220; 129
h.      Voorschriften Omtrent de Dienst-en Rusttijden van Bestuurders van
Motorrijtuigen (Peraturan Tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor), Staatsblad 1936 Nomor 451;
i.        Stoom-ordonnantie (Peraturan Tentang Ketel Uap), Staatsblad 1930 Nomor 225;
j.        Stoom-verordening (Aturan Pelaksanaan Peraturan Tentang Ketel Uap) Staatsblad 1930 Nomor 336 diubah dengan Staatsblad 1934 Nomor 462 dan Staatsblad 1937 Nomor 324, juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1971 Tentang Peraturan Pemungutan Biaya Pemeriksaan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Perusahaan;
k.      Loodwit-ordonnantie (Aturan Pelaksanaan Peraturan tentang Petasan) Staatsblad 1933 Nomor 10;
l.        Undang-undang Kecelakaan tahun 1847;
m.    Undang-undang No. 23 Tahun 1953 Tentang Wajib Melaporkan Perusahaan. Undang-undang ini telag dicabut oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan;
n.      Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja;
o.      Undang-undang No. 3 Tahun 1969 tentang persetujuan konvensi ILO Nomor 120 tentang higene dalam perniagaan dan kantor-kantor;
p.      Peraturan Menteri Perburuhan Tahun 1964 tentang syarat-syarat kebersihan dan kesehatan tempat kerja;
q.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 03/MEN/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja di perusahaan.
1.9    Keselamatan Kerja
            Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, setiap orang lainnya yang berada ditempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yang diatur ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik darat, dalam tanah, dipermukaan air, dalam air dan udara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Tujuan keselamatan kerja, antara lain melindungi keselamatan pekerja dalam melaksanakan tugasnya, melindungi keselamatan orang lain ditempat kerja, memelihara sumber produksi agar digunakan secara efisien. Untuk melaksanakan keselamatan kerja diperlukan pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Anggota (P2K3) terdiri dari wakil pimpinan perusahaan, 29 wakil buruh, teknisi keselamatan kerja dan dokter perusahaan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja) (Evylia, 2011).
1.10          Jaminan Sosial Tenaga Kerja
            Undang - undang yang mengatur Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah Undang - undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1992 adalah merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain (Astawa, 2006):
1.      Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
2.      Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.
            Dengan demikian jaminan sosial tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerjaan tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya. Adapun ruang lingkup pengaturan jaminan sosial bagi tenaga kerja meliputi (Astawa, 2006):
1.10.1    Jaminan Kecelakaan Kerja
            Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja termasuk sakit akibat hubungan kerja, demikian pula terhadap kecelakaan kerja yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang kembali melalui jalan yang biasa/wajar dilalui. Iuran jaminan kecelakaan kerja ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya antara 0,24-1,74% dari upah kerja sebulan. Besarnya iuran sangat tergantung dari tingkat resiko kecelakaan yang mungkin terjadi dari suatu jenis usaha tertentu, semakin besar tingkat resiko tersebut, semakin besar iuran kecelakaan kerja yang harus dibayar dan sebaliknya, semakin kecil tingkat resiko semakin kecil pula iuran yang harus dibayar.
1.10.2    Jaminan Kematian
            Kematian yang mendapatkan santunan adalah tenaga kerja yang meninggal dunia pada saat menjadi peserta Jamsostek. Jaminan ini dimaksudkan untuk turut menanggulangi meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dengan cara pemberian santunan biaya pemakaman. Besarnya jaminan kematian ini adalah 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) disebutkan bahwa jaminan dibayar sekaligus (lumpsum) kepada janda atau duda atau anak yang meliputi: 1) Santunan kematian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) 2) Biaya pemakaman sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) Jika janda atau duda atau anak tidak ada maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus kebawah dan garis lurus ke atas dihitung sampai dengan derajat kedua.
1.10.3    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
            Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Program pemeliharaan kesehatan ini merupakan upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Jaminan ini meliputi upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pemulihan (rehabilitatif). Iuran jaminan pemeliharaan kesehatan ini ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan 3% sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga. Jaminan pemeliharaan kesehatan diberikan kepada tenaga kerja atau suami isteri yang sah dan anak sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Jaminan ini meliputi:
   a.      Perawatan rawat jalan tingkat pertama.
  b.      Rawat jalan tingkat lanjutan.
   c.      Rawat inap.
  d.      Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
   e.      Penunjang diagnostik.
    f.      Pelayanan khusus.
  g.      Pelayanan gawat darurat.
(Pasal 3 Ayat (1). Pasal 35 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993).
            Dalam penyelenggaraan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, badan penyelenggara wajib:
a.       Memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta.
b.      Memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan.
1.10.4    Tabungan Hari Tua
            Hari tua adalah umur pada saat produktivitas tenaga kerja menurun, sehingga perlu diganti dengan tenaga kerja yang lebih muda. Termasuk dalam penggantian ini adalah jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total (total and permanent disability). Pembayaran iuran jaminan hari tua menjadi tanggung jawab bersama antara pekerja dan pengusaha yakni 3,70% ditanggung pengusaha dan 2% ditanggung oleh pekerja (Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993). Adanya peran serta tenaga kerja dalam pembayaran iuran jaminan hari tua ini dimaksudkan semata-mata untuk mendidik tenaga kerja agar perlunya perlindungan di hari tua. Untuk itu perlu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menghadapi hari tua tersebut.
1.11Studi Kasus Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Musiman di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen
            Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian waktu tertentu yang pekerjaanya bersifat musiman di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen dan bagaimana penyelesaianya. (2) Untuk mengetahui apakah hak dan kewajiban bagi para pihak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum bagi para pihak bila ada wanprestasi.
            Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan metode kualitatif, metode kualitatif dilakukan dengan menganalisis data yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, buku-buku kepustakaan, dan literature lainnya yang berkaitan dengan dengan proses pelaksanaan perlindungan hukum bagi perjanjian kerja waktu tertentu yang pekerjaanya bersifat musiman yang ada di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen. Yang kemudian akan dihubungkan dengan data-data yang diperoleh penulis dari studi lapangan yang berupa hasil wawancara dengan responden atau narasumber yang bersangkutan, untuk kemudian dilakukan pengumpulan dan penyusunan data secara sistematis serta menguraikannya dengan kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.
            Jenis dan sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: (1) Data Sekunder, data dari hasil studi kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. (2) Data Primer adalah Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. 11 Yaitu dengan melakukan penelitian langsung terjun ke lokasi Penelitian dan subyek yang diteliti yaitu dengan informan atau responden yang berkompeten dalam permasalahan mengenai ketenagakerjaan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (pekerjaan musiman) yang ada di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen
            Untuk status PKWT di P.G Mojo terdapat PKWT musiman dan PKWT musiman semi tetap yang sering disebut dengan istilah kampanye. Saat penulis melakukan wawancara, pihak perusahaan mengaku bahwa PKWT semi tetap tidak diatur dalam peraturan, namun ada di P.G Mojo. Dilihat dari isi Pasal 56 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berisi
“Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”.
            Berdasarkan Pasal 56 tersebut, dijelaskan bahwa perjanjian kerja hanya dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Yang dimaksud dengan waktu tertentu disini adalah pekerja dengan status tidak tetap (PKWT),  dan waktu tidak tertentu merupakan pekerja yang memiliki status pekerja tetap (PKWTT). Dengan demikian PKWT kampanye yang memiliki status pegawai semi tetap tidak ada yang mengaturnya, dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Hak dan Kewajiban bagi Para Pihak Sudah Sesuai atau Tidak Dengan Peraturan Perundang-undangan
            Berdasarkan hasil penelitian jelas bahwa hak untuk mendapatkan ijin tidak masuk kerja sesuai dengan kalusul perjanjian kerja tidak berlaku bagi PKWT musiman dan belum sesuai dengan Pasal 93 Ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PKWT juga memiliki hak istirahat selama satu hari dalam seminggu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 29 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang mengatur tentang PKWT. Namun hal tersebut juga tidak ada, dan PKWT Musiman tetap bekerja dengan mendapat upah lembur.
Tanggung Jawab Hukum bagi Para Pihak Bila Ada Wanprestasi
            Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.
            Hasil penelitian berikutnya PKWT dapat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila tidak masuk kerja selama enam hari berturut. PHK sendiri dalam peraturan sebenarnya sangat dihindari agar tidak dilakukan perusahaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 151 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa perusahaan harus menghindari PHK, jika tidak dapat dihindari maka wajib dirundingkan oleh perusahaan dan serikat pekerja atau dengan pekerja langsung.
            Apabila upaya perundingan tidak berhasil, maka perusahaan hanya dapat melakukan PHK pekerjanya dengan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Maka apabila perusahaan hanya sepihak dalam melakukan PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hal tersebut tidak sesuai 10 dengan Pasal 151 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
            Kemudian mengenai perbuatan melawan hukum, dari hasil penelitian dijelaskan memang pernah ada yakni pengemudi PKWT yang pekerjaanya bersifat musiman mencuri blotong. Menurut Nin Yasmine Lisasih konsekuensi perbuatan melawan hukum yakni tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. 
            Ganti rugi juga diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata. Namun adanya perbuatan melawan hukum tersebut, perusahaan hanya memberi peringatan surat peryataan untuk tidak mengulanginya lagi dan memberi nasehat. Perusahaan tidak meminta ganti rugi atas perbuatanya tersebut. Sehingga dalam hasil penelitian, perusahaan mengedepankan upaya mediasi dengan pekerja dan tidak langsung meminta ganti kerugian.
BAB III 
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
1.        Hukum ketenagakerjaan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.  Tujuan hukum ketenagakerjaan adalah untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan serta untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.
2.        Sumber hukum ketenagakerjaan adalah undang-undang dan peraturan-peraturan.
3.        Terdapat 2 macam hubungan kerja yakni: Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT). PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
4.        Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan. Cara penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan melalui bipartrit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan hubungan industrial.
5.        Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan), terhadap penyakit-penyakit atau gangguangangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Sedangkan keselamatan kerja membahas setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, setiap orang lainnya yang berada ditempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya
6.        Jamsostek adalah adalah merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
7.        Salah satu studi kasus dilapangan adalah perlindungan hukum terhadap pekerja musiman di PT. Perkebunan Nusantara Ix (Persero) P.G Mojo Kabupaten Sragen.
3.2    Saran
            Seringkali terlihat hubungan yang kurang baik antara perusahaan dengan tenaga kerja sehingga memungkinkan terjadinya hal yang tidak diinginkan dan merugikan tenaga kerja. Oleh sebab itu, penulis sangat berharap dalam mempelajari hukum ketengakerjaan pembaca dapat bijaksana dalam menggunakan ilmu pengetahuanya segingga dapat dimanfaatkan guna menggindari hal-hal yang tidak diinginkan dan penerapan hukum dapat  digunakan untuk kesejahteraan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Citra Aditya Bakti.         Bandung.
Arifin, Ariani. 2007. Pelaksanaan Fungsi Lembaga Penyelesaian Perselisihan        Hubungan Industrial dalam Penanganan Sengketa Pemutusan Hubungan             Kerja. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin Makassar.


Asyhadie, Zaeni. 2008. Hukum Kerja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Astawa, I Dewa Rai. 2006. Aspek Perlindungan Hukum Hak – Hak Tenaga Kerja Indonesia  di Luar Negeri. Tesis. Program Magister Ilmu Hukum           Universitas Diponegoro Semarang
Evylia, Sheinora Meeryline. 2011. Tinjauan Yuridis Terhadap Pola Pengupahan   Pada Tenaga Kerja Kontrak di Lembaga Gema Hosana. Skripsi. Fakultas            Hukum Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang.
Kansil, dan Christine. 2001. Kitab Undang-undang Ketenagakerjaan. Penerbit      Pradnya Paramita, Jakarta.
Kusuma, Sawitri Dian. 2012. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan     Kerja (PHK) Karena Kesalahan Berat Pada Tingkat Mediasi di Dinas      Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Latupono, Barzah. 2011. Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia Terhadap             Pekerja Kontrak (Outsourcing) Di Kota Ambon. Jurnal Sasi Vol. 17 (3):        59-69.
Prabowo, Yohanes Andreyanto. 2015. Studi Kasus Terhadap Keterlambatan         Pembayaran Upah Pekerja/Buruh di Kontraktor Agawe Studio Giwangan         Yogyakarta. Jurnal. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya            Yogyakarta.
Ramadani, Nur. 2011. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak yang di PHK   dalam Masa Kontrak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan           Industrial Nomor: 271/G/2009/Phi.Sby). Skripsi. Program Studi Ilmu     Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.   Surabaya.
Soepomo, Iman. 1995. Pengantar Hukum Perburuhan (Djambatan, Jakarta, Cet.   XI, 1995).
Voss, G.H.V dan Surya Tjandra. 2012. Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan        Indonesia. Jakarta: Pustaka Larasan.

No comments :

Post a Comment